6/recent/ticker-posts

Si Kuning Pemberian Ibu


Si Kuning Pemberian Ibu
Oleh Aisyah Nurfitriyani

Pernahkah kalian merasa kehilangan? Memang salah satu hal menyedihkan dalam hidup adalah kehilangan. Tapi, tahukah kalian makna kehilangan yang sesungguhnya? Apakah kehilangan dapat diartikan sebagai sesuatu yang jauh dari jangkauan kita? Atau apakah kehilangan diartikan sebagai ketidakberadaan makna? Itulah yang aku rasakan sekarang.

Ibu adalah sosok pahlawan dalam diriku. Senyumnya mengalahkan pulau gula paling manis di semesta. Tatapannya seteduh nyiur hijau di tepi pantai. Oke cukup. Aku tak pandai berkata puitis. Satu hal yang pasti. Di tengah hancurnya keluargaku, ibu adalah segalanya. Ayah yang meninggalkan kami berdua demi bayangan masa lalunya sejak satu dekade ke belakang. Nenek yang sering membandingkanku dengan anak sebelah. Saudara laki-lakiku yang telah pergi merantau selama tujuh tahun tanpa kabar. Kini sebatang kara diriku bersama ibu.

Dibalik itu semua, bahagia kurasakan di relung hatiku. Ibu selalu ada di setiap perjalananku selama tujuh belas tahun ini. Di saat ku bersedih, ibu menghiburku dengan untaian kata terindah. Ketika api amarah menguasaiku, ibu lah yang memadamkannya dengan air tersejuk yang pernah ku temui. Ibu pernah mengatakan bahwa semua masalah yang kau hadapi ialah bagaikan ombak yang datang lalu pergi. Semua akan berlalu.

“Ras…setelah lulus, tujuan Raras mau kemana?” Nada lembut ibu mengalun di gendangku.

Lamunan yang kutunjukkan sampai ibu menyentak dengan lembut, “Nak…?”

“Ya bu?!” Kagetku.

“Sepertinya aku akan mencoba mengikuti tes perguruan tinggi dulu sepertinya…, Bu.” Jawabku ragu.

“Sabar saja, nak. Ibu mendukung segala keputusanmu selama itu baik buatmu.”

Kubalas perkataan ibu dengan senyum yang merekah, “Baik bu.”

Sepenggal kisah tersebut belum usai. Di hari-hari berikutnya ibu selalu teguh pada pendirian. Sugesti positif sering tersemat di tiap untaian katanya.

Hingga suatu hari ibu memberiku sebuah barang istimewa. Warna kuning cerah bak bunga matahari. Sebuah buku. Aku tak tau kenapa ibu memberiku buku bersampul kuning. Setiap kutanya ibu hanya menjawab “Ini adalah warna yang mengingatkan ibu pada bahagia”. Apanya yang bahagia jika aku terkadang melihat ibu menatap sendu foto ayah. Yang paling menyakitkan, warna kuning adalah warna kesukaan mantan ayahku. Aku tak tau arti kebahagiaan yang dimaksud ibu. Itulah mengapa ku mulai melupakan si kuning itu.

Si kuning yang selalu kuletakkan di atas almari tanpa noda tinta perlahan kehilangan warna cerahnya. Walau ibu selalu berkata agar aku menulis segala kenanganku, kuabaikan semua itu.

Kini aku tersadar mengapa ibu selalu membujukku untuk menuangkan seluruh potongan kenanganku. Kanker stadium akhir. Diagnosa dokter di kala itu telah merenggut segala duniaku. Ibu menghadiahkan si kuning agar dapat kutuliskan duniaku bersama beliau sebelum meninggalkanku. Semua kenangan yang seharusnya kuukir dalam balutan si kuning kini hanyalah tulisan tanpa noda.

“Hei…Ras! Bel masuk sudah bunyi tuh! Ayo ke kelas!”, ajak temanku, Nada.

Tak sadar diriku tertidur di atap sekolah sampai memimpikan kenangan berharga bersama ibu. Semua percakapan bersama ibu hanyalah angan-anganku. Sudah tiga bulan ibu pergi selamanya dan aku masih sering memimpikan kenangan itu.

Bahkan, si kuning yang biasa teronggok di atas almari kini hilang entah kemana. Seandainya aku menjaga si kuning mungkin kini telah banyak ukiran memori di dalamnya.

Posting Komentar

0 Komentar