Oleh: Imam Aris Utomo
Kehidupanku yang sekarang seperti lingkaran waktu yang kembali ke titik awalnya. Aku seorang dosen di kampus tempat dulu aku menimba ilmu. Namaku Tomo Sujiatmoko. Mahasiswa biasa memanggilku, dengan suara segan-segan tapi hangat, “Pak Tomo.” Selain mengajar, aku juga menyempatkan diri mengisi sela-sela waktu dengan menulis. Menulis bukan karena ingin jadi pengarang besar atau ingin dikenal sebagai pencerita, tapi karena dengan menulis aku merasa hidup dua kali: satu di dunia nyata, satu lagi di dunia imajinasi. Tapi biarlah, pagi ini bukan tentang itu. Bukan tentang profesi, bukan pula tentang biografi. Pagi ini hanya tentang pagi itu sendiri pagi yang teramat cerah.
Setelah aku antar putriku kecilku ke sekolah, seperti biasa, aku sempatkan duduk sejenak di kursi teras rumahku. Menyeduh waktu bersama aroma tanah dan kehidupan. Suasana di sekeliling masih asri, sangat bersahaja. Aku hanya bisa berharap, semoga selalu begini adanya. Langit terbuka, Matahari menguraikan sinarnya, menembus dedaunan, menyoroti ubin, menerpa wajahku yang masih separuh ngantuk. Burung-burung melayang, seperti tak punya beban hidup, berkicau sekenanya, seolah sedang rapat pagi buta. Pohon-pohon pun ikut menari pelan ditiup angin. Bambu di samping rumah melenggak ke kanan-kiri, mengeluarkan suara derit-derit khas, seakan sedang melantunkan tembang Jawa yang lirih dan menenangkan. Di atas meja kecil, kopi hitam buatan istriku mengepul, menggoda untuk diseruput perlahan. Pisang goreng masih hangat menyebarkan aroma minyak dan pisang matang yang khas. Aku tidak merokok, tak pernah, dan rasanya hidup ini sudah cukup damai tanpa itu. Seruput demi seruput, kopi itu perlahan tandas. Pisang goreng satu per satu berpindah ke perut. Lidahku puas. Hatiku tenang.
Jam menunjukkan pukul tujuh. Kelas akan dimulai pukul delapan lebih seperempat. Jarak dari rumah ke kampus sekitar tiga belas kilometer. Tanpa macet, setengah jam perjalanan sudah lebih dari cukup. Maka seperti biasa, aku akan berangkat tepat pukul setengah delapan. Aku pilih batik favoritku: hitam-coklat bermotif mega mendung. Ada sesuatu dari motif itu yang membuatku merasa tenteram. Mungkin karena awan memang punya watak yang tabah menggantung diam meski menanggung hujan. Celana kain hitam menyusul, lalu sepatu pantofel yang sudah mengkilap, hasil polesanku semalam. Motorku panaskan, sambil sekalian kulap debu yang menempel dari motor tua itu. Kegiatan kecil, tapi entah kenapa terasa ritualistik.
Istriku mengantar sampai ke depan. Ia seperti biasa, dengan wajah rupawan dan sikap penuh kasih, menyematkan doanya sebelum aku pergi.
“Hati-hati ya, Mas. Nanti malam aku masakkan opor ayam kesukaanmu,” katanya sambil menatapku dengan senyum tulus yang membuat matanya sipit.
“Siaaap, wah enak tuh, ga sabar mau cicipin!” jawabku sambil tertawa kecil, senang bukan main.
“Iya Mas, dijamin enak pokoknya,” balasnya, makin manis dengan lesung pipinya.
“Dah ya, aku berangkat dulu. Nanti bisa telat.”
“Iya Mas, hati-hati di jalan.”
Salam bersahutan.
Aku melaju dengan motor, membelah pagi yang sudah mulai ramai. Udara menyambut wajahku, salam dari istriku menggema di telingaku seperti mantra pelindung. Tak ada yang istimewa mungkin bagi orang lain. Tapi bagiku, semua ini cukup lebih dari cukup. Karena hidup, toh, bukan tentang hal-hal besar yang jarang terjadi, tapi tentang hal-hal kecil yang selalu hadir namun sering kita lewatkan.
Perjalanan menuju kampus tak pernah benar-benar membosankan bagiku. Di atas motor tua ini yang sudah setia menemaniku sejak di bangku perkuliahan, aku menyusuri jalan desa yang dulu masih banyak yang berlubang, tapi kini lebih sedikit lebih baik. Angin pagi menerpa wajahku, membawa aroma rumput basah dan asap dapur yang masih semerbak. Jalanan belum terlalu padat, tapi kehidupan sudah mulai menggeliat seperti biasa.
Di sebuah sekolah dasar sekolahan putriku yang kulalui setiap pagi, anak-anak berdiri rapi di lapangan. Mereka tengah melangsungkan upacara bendera, dengan seragam putih merah yang tampak mencolok di bawah cahaya mentari. Ada yang berdiri kaku, ada pula yang diam-diam menggaruk-garuk kepala atau menguap kecil. Aku tak melihat putriku, mungkin dia terlalu kecil. Sehingga tak kelihatan. Aku tersenyum. Dan ingatanku melayang ke masa kecil yang serupa, masa di mana hari Senin adalah hari yang paling membosankan sedunia.
Tak jauh dari situ, aku melintasi pasar. Meski waktu sudah hampir menunjukkan setengah hari, ibu-ibu masih betah duduk di lapak-lapak kecilnya. Mereka menjajakan sayur, tempe, ikan asin, atau sekadar berbincang sambil memegang plastik berisi belanjaan. Di sudut pasar, seorang ibu tua menata kembali cabai merahnya yang hampir tumpah, sementara seorang anak kecil tampak merengek minta jajan. Wajah-wajah lelah namun tetap tabah, seolah berkata: “Beginilah hidup, Nak, harus tetap terus berjalan meski tak selalu mudah.”
Sesekali aku berpapasan dengan bapak-bapak yang juga tengah berangkat kerja. Ada yang mengendarai sepeda motor seperti aku, ada pula yang mengayuh sepeda ontel tua. Tak saling kenal, tapi di antara kami ada bahasa diam yang menghubungkan: sesama lelaki pagi, sama-sama mengejar rezeki dan menafkahi yang dicinta.
Setengah jam berlalu, dan akhirnya kampus mulai tampak di kejauhan. Kampus itu... ah, kampus yang menyimpan sebagian besar masa mudaku. Tidak banyak yang berubah. Kampus hijau, pinggir sawah. Pohon-pohon masih tegak seperti dahulu, daun-daunnya menyambut mahasiswa yang berlalu-lalang. Arsitektur bangunan masih mengusung gaya lama yang sederhana, tidak megah, tapi bersahaja dan teduh. Perpustakaan dengan pintu kayunya masih berdiri anggun di sudut kampus, seolah menjadi penjaga setia lautan ilmu dan kenangan.
Di titik itulah hatiku tiba-tiba disergap hening. Aku teringat pada sahabat lamaku, Tarno Suwiryo. Kami pernah duduk di kursi-kursi tua perpustakaan itu, berdiskusi panjang tentang filsafat dan cita-cita hidup. Tarno dengan celana panjang yang selalu kebesaran dan semangatnya yang tak pernah redup adalah sosok yang tak tergantikan dalam perjalanan kuliahku. Tapi takdir berkata lain. Ia pergi sebelum sempat menyelesaikan kuliah, mendahuluiku kembali ke alam yang lebih abadi. Kampus ini selalu punya caranya sendiri untuk menghidupkan kembali yang telah tiada melalui kenangan.
Aku melangkah masuk ke gedung fakultas. Suasana masih khas: ramainya mahasiswa yang baru bertemu kembali setelah libur, celoteh tak henti di lorong, dan aroma mie goreng dari kantin menyelinap masuk sampai ke ruang kelas. Aku masuk ke kelas. Ruangan itu belum ramai, tapi beberapa mahasiswa sudah duduk dengan wajah penuh antusias, atau gugup. Hari ini adalah hari pertama di awal semester, waktu yang paling ringan dan juga paling berkesan.
Seperti biasa, kelas dibuka dengan perkenalan. Satu per satu mahasiswa memperkenalkan diri. Ada yang lancar, ada yang salah menyebut nama sendiri karena gugup, ada pula yang menambahkan lelucon kecil agar suasana mencair. Aku sendiri memperkenalkan diri bukan sekadar sebagai dosen, tapi juga sebagai kawan belajar mereka di perjalanan panjang perkuliahan satu semester ini. Mereka menyimak, beberapa tersenyum.
Aku tahu, di mata mereka, aku adalah "Pak Tomo". Tapi dalam diriku, aku tetaplah Tomo Sujiatmoko si mahasiswa lama yang kini hanya berpindah tempat duduk, dari bangku belajar ke meja mengajar. Tapi semangatnya, semangat menuntut ilmu, semangat mengenal hidup, masih sama.
Setelah aku berpikir demikian. Seorang mahasiswa dengan antusiasnya memintaku untuk menceritakan masa lalu ku saat zaman jadi mahasiswa.
“Pak certain dong bagaimana kuliah bapak dulu disini, dan apa yang membekas dihati bapak saat mendengar kampus ini?” tanya mahasiswa, yang seperti berendet peluru.
Aku tersenyum. Tak langsung menjawab. Justru menatap keluar jendela sebentar. Angin pagi menyelinap masuk bersama kenangan yang lama terlipat rapi. Mungkin, hari ini memang waktunya untuk kubuka kembali lembar itu.
“Dulu… saya bukan siapa-siapa,” ucapku pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi seluruh kelas mendadak diam, mendengar dengan penuh saksama.
“Saya lahir dari keluarga yang, ya… bisa dibilang sulit secara ekonomi. Orang tua saya bukan pegawai negeri, bukan juga pedagang besar. Hanya dua orang tua yang saban hari bekerja keras agar dapur kami bisa tetap mengepul. Saya anak sulung, dan punya satu adik perempuan. Sejak lulus SMA, niat saya hanya satu: bekerja. Cukup saya saja yang tidak kuliah, asal adik saya bisa sekolah tinggi. Itu tekad saya.”
Aku berhenti sejenak. Suara motor di luar yang melintas, burung-burung yang lewat, semua terdengar seperti latar dari kisah yang sedang kubuka perlahan.
“Tapi orang tua saya... punya mimpi yang berbeda. Mereka tidak mau anaknya berhenti sampai SMA. Mereka ingin saya menjadi orang yang lebih baik dari mereka. Mereka bilang, ‘Nak, kami tidak bisa kasih kamu warisan harta, tapi kami ingin bekali kamu dengan ilmu’. Saya mencoba menolak. Berkali-kali. Tapi mereka terus memaksa, bahkan dengan mata yang sembab, tangan yang menggenggam erat, seolah sedang mempertaruhkan masa depan terakhir yang mereka punya. Saya kalah. Tapi bukan karena lemah. Karena saya terlalu mencintai mereka.”
Tanganku mengusap pelan sisi meja. Aku menatap wajah-wajah muda di depanku. Beberapa menunduk. Beberapa masih mematung.
“Jadilah saya kuliah di sini... di kampus ini. Tapi saya tak bisa hanya menjadi mahasiswa saja. Saya harus bekerja juga. Malam hari saya membuat jajanan kecil seperti pastel, donat, risoles. Kadang sendiri, kadang dibantu ibu saya. Subuh-subuh sudah keliling menitipkan di warung, sebelum kuliah. Di kampus, saya juga jualan pulsa, kadang juga jadi jasa pengantar fotokopi, apapun asal halal. Tapi karena itu fokusku terbelah, semester awal kuliah... berantakan. Nilai-nilai mengecewakan. Jujur, saya pun dulu tidak suka membaca buku. Sungguh, membuka satu halaman saja sudah membuat kepala berdenyut. Dunia akademik rasanya seperti hutan belantara yang menakutkan.”
Aku tertawa kecil, tapi getir. Seperti mengenang luka lama yang kini jadi cerita.
“Lalu semester dua datang… dan di sanalah takdir mempertemukan saya dengan seseorang yang bernama Tarno Suwiryo. Namanya mungkin tak kalian kenal, tapi ia seperti api kecil yang menerangi gua gelap dalam hidup saya. Tarno itu... mahasiswa yang luar biasa. Pintar. Aktif di tiga organisasi sekaligus. Dan satu hal yang membuat saya heran sekaligus kagum adalah ia sangat mencintai buku. Kadang aku heran, apakah ia benar-benar manusia, atau semacam siluman pustaka.”
Beberapa mahasiswa tertawa kecil. Aku ikut tersenyum, tapi senyum itu tak bisa menyembunyikan kabut tipis di mataku.
“Dia mengubah cara saya memandang dunia. Ia tak pernah menggurui, tapi selalu menantang saya untuk berpikir. Ia tak pernah mengejek, tapi selalu membuat saya merasa ingin lebih baik.”
Kata-kata itu seolah masih menggema di ruang kelas yang senyap, tapi hatiku melanjutkan kisah yang belum selesai.
“Pernah suatu hari, Tarno mengajak saya pergi ke pasar buku. Hari Sabtu pagi, setelah kami menyelesaikan tugas kelompok yang entah apa saya sudah lupa mengerjakan apa, tapi tidak dengan momen itu”.
“Begini ceritanya…”
“Ayo ikut, Mo. Ada pasar buku. Kau butuh tamasya hati, bukan cuma kuliah kerja saja,” katanya sambil menepuk pundakku.
“Aku gak ngerti buku-buku itu, Tar. Liat judulnya aja bikin mumet.”
Ia tertawa lebar. “Justru karena belum ngerti, makanya harus berani masuk. Kayak kita berenang belajar itu ya nyemplung, bukan cuma liatin dari pinggir.”
Kami berangkat naik motor tua miliknya. Getarnya tak nyaman, tapi obrolan kami sepanjang jalan membuat segalanya terasa ringan.
Di pasar buku itu, aku hanya berdiri memandangi deretan meja dengan buku-buku yang menggunung tertata rapi. Sementara Tarno sudah menggenggam lima buku tebal di tangan. Matanya bersinar seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.
“Gila kamu, Tar. Lima buku? Baca semua?”
“Yoi! Baca atau enggak urusan nanti. Tapi lihat ini, Mo…,” ia mengangkat sebuah buku kecil, kulitnya lusuh, judulnya mencolok: Animal Farm karya George Orwell.
“Ini cocok buatmu. Tipis, tapi maknanya luas.”
Aku menatapnya ragu.
“Percayalah. Bacalah perlahan, tak perlu buru-buru. Tapi jangan berhenti.”
Dan benar saja. Buku itu baru selesai kubaca berbulan-bulan karena sangat sulit untuk membacanya dan belum terbiasa. Buku itu hanya sekitar 148 halaman, tapi terasa seperti menembus hutan pikiranku yang selama ini tertutup. Dari buku itu… dan dari Tarno… aku mulai jatuh cinta pada dunia yang sebelumnya kubenci: dunia kata, dunia wacana, dunia sunyi tapi penuh daya.
Sejak itu, kami sering ke perpustakaan. Tarno sering menumpuk buku tinggi-tinggi di meja. Entah ia benar-benar membaca semuanya atau hanya sebagai bentuk cinta berlebihan pada pengetahuan, aku tak tahu. Tapi aku mengesani dia dengan cara yang diam, seperti anak kecil yang mengagumi kakaknya.
Sementara aku? Awalnya hanya berani meminjam satu buku. Kadang belum kubaca, sudah ku tinggal tidur. Tapi perlahan, aku berubah. Rumahku kini punya tiga lemari penuh buku. Lima rak tiap almari. Belum lagi e-book yang tertata rapi pada file. Dan semuanya hidup, karena Tarno pernah menyalakan apinya.
Ia juga sering mengajakku ke tempat privat Bahasa Inggris.
“Aku mau S2 ke luar negeri, Mo,” katanya suatu sore, saat kami duduk di taman kampus. “Aku pengen lebih dari sekadar lulus S1. Aku pengen meretas takdir.”
“Takdir?” tanyaku.
“Ya. Aku gak mau jadi korban keadaan, seperti orang-orang di kampungku. Aku pengen pulang suatu hari, bawa ilmu yang bisa berguna. Bukan cuma gelar. Kau tahu kan, aku punya adik satu. Aku pengen dia bangga.”
Aku menatapnya lama. “Aku ikut privat ya. Biar kalaupun kau terbang jauh nanti, aku masih bisa bilang: 'aku juga belajar, meski tak sekencang dirimu.'”
Semester demi semester, kami tumbuh bersama. Semester dua, nilaiku mulai membaik. Semester tiga, Tarno jadi ketua organisasi aku makin mengesaninya. Ia seperti roket kecil, melesat tapi tetap rendah hati. Sementara aku masih menjajakan dagangan, tapi kini bisa membagi waktu lebih baik. Semester empat berjalan seperti apa adanya. Pada semester lima. Saat kampus bersiap KKN, aku dan Tarno tak bisa sekelompok. Sistemnya harus beda jurusan, yang satu kelas harus berbeda kelompok. Tapi kami tetap saling menyemangati.
Lalu suatu malam, aku tertidur lebih awal. Badan lelah. Pagi menjelang, suara dering ponsel membangunkanku. Nomor asing.
“Halo?” suaraku serak.
Suara di seberang... membuat jantungku tercekat-terkapar. “Mas Tomo... ini saya, ibunya Tarno... Maaf mengganggu, Tarno kecelakaan tadi malam... tertabrak mobil... dan... dia...”
Aku tak ingat kalimat selanjutnya. Yang kuingat hanya tubuhku yang mendadak lunglai. Ponsel terjatuh dari tangan. Aku duduk di kasur, diam. Masih tak menyangka. Air mata meledak tanpa aba-aba. Aku bergegas. Dan ketika tiba di rumahnya, bendera kuning telah terpasang. Terkibar lemah... seolah ikut berkabung.
Wajahnya sudah tertutup kain putih. Tapi senyumnya masih terbayang. Senyum yang tak pernah padam, bahkan saat dunia tak lagi berpihak padanya. Tangis itu tak bisa kutahan. Aku peluk raganya. Lama. Di sanalah aku merasa kehilangan yang tak bisa digantikan siapa pun.
Semester enam. Aku mulai menulis skripsi. Sendiri. Tak ada lagi Tarno di taman kampus, tak ada suara tawanya di lorong fakultas. Tapi semangatnya… masih hidup. Dalam pikiranku. Dalam cita-cita yang kini ku pikul. S2 ke luar negeri itu kini bukan lagi cita-citanya. Tapi warisannya. Dan aku berniat mengejarnya. Biar ia tahu, perjuangannya tak sia-sia.
Ku lihat raut wajah muda para mahasiswa itu ada yang menunduk, termenung, dan bahkan menangis. Maka ku sudahi cerita sedih ini.
“Kini, adiknya sedang kuliah. Saya bantu sebisa saya. Bukan karena saya ingin membalas apa pun. Tapi karena begitulah rasa kehilangan seorang sahabat yang tak tergantikan. Untukmu, Tarno Suwiryo… terima kasih. Semoga Tuhan mendekapmu dengan damai. Dan semoga setiap langkahku ke depan, bisa menjadi doa yang terus mengalir untukmu”.
Kelas menjadi hening. Semua pada suasananya masing-masing, mengambang di antara rasa haru dan hormat. Tak ada suara. Hanya kipas langit-langit yang berputar pelan dan detak jarum jam di dinding yang terdengar lebih nyaring dari biasanya.
Seseorang di bangku depan mengangkat tangan perlahan. Seorang mahasiswa laki-laki, wajahnya masih muda dan polos. Ia menarik napas sebelum bicara.
“Pak… saya gak nyangka, Bapak menyimpan cerita yang sedalam itu…” Matanya sedikit berkaca.
“Kadang kami pikir, dosen itu ya udah jadi orang hebat dari awal. Tapi ternyata... perjalanan Bapak juga penuh luka, jatuh, dan bangkit. Saya jadi malu, Pak… sering ngeluh soal tugas, soal hidup, soal kuliah…” Dari bangku tengah, suara perempuan menyusul, pelan namun jelas.
“Saya… saya gak kenal almarhum Pak Tarno, tapi dari cerita Bapak… beliau seperti tokoh dalam novel. Hebat, tapi hangat. Dan saya… saya jadi mikir ulang soal hidup saya sendiri. Tentang siapa yang sudah pernah menyalakan cahaya kecil di hidup saya… dan apakah saya juga sudah mencoba menyalakan cahaya itu untuk orang lain.”
Kepala-kepala mulai mengangguk pelan. Beberapa ada yang masih menunduk dalam diam. Ada yang mengusap mata dengan tangan diam-diam. Tak ada suara tawa, tak ada suara gaduh. Kelas itu, untuk beberapa menit, berubah menjadi ruang refleksi yang hening tapi bergemuruh dalam hati masing-masing.
Seorang mahasiswa lainnya tubuhnya kurus, dengan kacamata bulat dan suara agak gemetar mengangkat tangannya.
“Pak… boleh saya bilang sesuatu?”
Aku mengangguk, lembut.
“Saya juga anak sulung, Pak. Orang tua saya bukan orang berada. Saya juga pernah berpikir, berhenti kuliah aja… bantu kerja. Tapi sekarang saya tahu, mungkin ini semua bukan tentang kita saja, tapi tentang orang-orang yang percaya pada kita. Dan… tentang orang-orang seperti Pak Tarno, yang sudah memperjuangkan mimpi meski akhirnya Tuhan punya rencana lain.”
Ia terdiam sebentar. Suaranya menurun jadi hampir berbisik.
“Saya janji Pak, saya akan kuliah dengan lebih sungguh-sungguh. Untuk orang tua saya. Dan mungkin… untuk Pak Tarno juga.”
Aku tak berkata apa-apa. Hanya menatap mereka satu per satu. Wajah-wajah muda itu tak lagi hanya sekadar mahasiswa bagiku. Tapi kuncup-kuncup harapan, yang sedang bersiap tumbuh… karena sebuah cerita yang kututurkan dengan jujur dan seluruh hatiku.
Seorang mahasiswi lain, di bangku paling ujung, menutup bukunya dan berkata pelan, “Pak… saya gak tahu apakah nanti saya akan punya sahabat seperti Pak Tarno… tapi kalau saya punya, saya ingin jadi sahabat yang bisa dikenang seperti itu.”
Aku tersenyum. Kali ini ada sedikit air di mataku, tapi kubiarkan saja. Karena kadang, dari sebuah kehilangan, justru tumbuh kehidupan baru.
Tak terasa, waktu di kelas telah habis. Cerita itu membawa kami jauh bukan ke dalam teori atau konsep mata kuliah, tapi ke dalam perasaan, perjalanan, dan makna. Tapi tak mengapa. Memang, awal perkuliahan di semester baru hampir selalu hanya diisi perkenalan. Dan barangkali, ini adalah perkenalan yang paling jujur: bukan hanya perkenalan tentang nama dan asal mahasiswa, tapi perkenalan antara hati manusia yang sedang belajar memahami satu sama lain.
“Baik, kita cukupkan hari ini,” ucapku sambil menatap mereka yang masih diam, “mari kita tutup dengan doa bersama. Untuk diri kita, untuk keluarga kita, dan untuk sahabat-sahabat yang telah pergi mendahului kita…”
Doa mengalir pelan. Hening. Tapi terasa dalam. Ada yang memejam, ada yang menunduk, mungkin juga ada yang diam-diam menyebut satu nama: sahabat, orang tua, atau seseorang yang pernah memberi nyala dalam hidup mereka.
Usai doa, aku melangkah keluar. Masih ada satu kelas lagi yang harus kuampu. Hari masih panjang, dan menjadi dosen adalah amanah yang tak bisa kutunda meski hati tengah digenangi kenangan. Di kelas berikutnya, aku kembali berdiri, mengajar dengan suara yang tenang, menjelaskan materi dengan pelan. Tapi jauh di balik suaraku, ada ruang kecil dalam hati yang terus memutar ulang satu nama: Tarno.
Setelah kelas selesai, aku tidak langsung pulang. Kaki ini seolah bergerak sendiri menuju tempat yang sejak tadi memanggil-manggil dalam diam: perpustakaan.
Langkahku pelan. Setiba di sana, aku memilih duduk di sudut yang dulu sering kami tempati aku dan Tarno. Meja kayu yang warnanya sudah agak kusam, kursi tua yang kadang berdecit pelan bila ditarik. Di sudut itulah dulu Tarno sering menumpuk buku. “Baca semua?” tanyaku. Ia hanya terkekeh, “Yang penting di pegang dulu, Mo. Buku itu seperti teman. Kadang tak langsung kita ajak bicara, tapi cukup tahu dia ada.”
Kini, kursi itu kosong. Dan tak ada tumpukan buku. Hanya aku dan sunyi. Tapi sunyi ini penuh suara, suara langkah Tarno, suara tawanya, bahkan suara napasnya ketika membaca dalam-dalam. Aku duduk lama. Merenung. Kadang menatap rak buku. Kadang hanya diam, seperti sedang bercakap dengan kenangan.
Jam dinding di atas pintu menunjukkan pukul empat sore. Hari mulai menua. Aku bangkit. Menyandang tas dan berjalan pelan menuju parkiran. Dalam perjalanan pulang, bayangan Tarno belum juga lepas. Setiap tikungan, setiap jalan yang kulewati, seolah pernah kami lewati bersama dulu. Ingatan itu begitu kuat, seperti tali yang terus menarikku kembali ke masa lalu. Tapi kehidupan tak bisa dijeda.
Sampai di rumah, suasana berbeda menungguku. Dari balik pagar kecil, istriku sudah menyambut dengan senyum hangat. Wajahnya seolah bisa menyapu penat hanya dengan satu tatapan. Dan dari balik pintu rumah, suara kecil yang meracau memecah senja:
“Ayaah! Tadi disekolah aku gambar pohon! Tapi pohonnya miring, Bu Guru bilang kayak ketiup angin! Lucu kan Yah!? Trus temanku malah mewarnai daun pakai warna ungu! Masa iya, daun ungu? Hihihi…”
Putri kecilku, satu-satunya, usianya baru seumur jagung, kelas satu SD, tapi ocehannya sudah seperti penyiar radio. Ia berlari ke arahku, memeluk kakiku erat-erat. Dunia yang tadi sunyi, kini ramai. Dunia yang tadi penuh kehilangan, kini terasa hangat.
Aku mengangkatnya, memeluk erat tubuh kecilnya. “Wah, Ayah jadi penasaran sama pohonnya. Nanti tunjukin ya gambarnya.”
“Iya! Tapi gambarnya jelek sih, aku gambar pakai tangan kiri, yang kanan capek nulis!” ucapnya dengan ekspresi polos, membuat aku dan istriku tertawa kecil.
Istriku mengambil tasku, lalu menatapku lembut. “Kamu capek ya, Mas?”
Aku menggeleng, walau sejujurnya tubuh ini lelah. Tapi hati? Hati perlahan merasa pulih. “Capeknya hilang waktu melihat dua orang kesayangan ini,” jawabku sambil mencium pipi putriku.
“Opor ayam yang aku janjikan udah jadi Mas, nanti kita makan sama-sama ya!” Istriku sangat bersemangat tak ada bedanya dengan ricauan anakku.
Matahari mulai kehilangan ronanya, sore pun berganti malam. Dan di balik rasa kehilangan yang belum juga pudar, aku tahu satu hal: hidup memang tak berhenti karena duka. Tapi duka yang besar seringkali membuat kita lebih mampu mencintai kehidupan… dalam bentuk-bentuknya yang sederhana: senyuman, pelukan, cerita-cerita kecil tentang daun yang berwarna ungu, dan opor ayam tentunya.
0 Komentar