Oleh: Anggita Putri Damayanti
Mentari bersinar di pagi hari,
Kala itu kita berjumpa di bangku sekolah,
Berbincang-bincang dengan senyuman manismu,
Ku tahu, kali pertama kau melihatku dengan kagum.
Begitu juga diriku.
Sampai waktu, demi waktu,
Akhirnya kita bersatu dan berbincang:
Aku, kamu, kita.
Berbincang-bincang hingga sampai konteks masa depan.
Kau bilang, diriku wanita idamanmu.
Kau bilang, diriku selalu di hatimu.
Dan…
Kau bilang kau tak mau kehilanganku…
Tapi apakah ini hanyalah ilusi?
Aku terlalu naif, hingga kata-katamu mudah masuk di hatiku.
Dan akhirnya apa?
Kau meninggalkanku, sendirian,
Dengan alasan klasikmu itu.
Hancur, patah, kehilangan dirimu.
Perkataanmu, janji manismu, dan kenangan kita.
Hingga ku tutup hatiku,
Sampai tak ada orang lain di hatiku.
Menutup, tutup, ku kunci erat-erat.
Bertahun-tahun ku melupakanmu,
Sampai saat ini, masih ku teringat tentang dirimu.
Tak apa, tak mengapa.
Aku tak akan mengharapkanmu.
Kehilanganmu, suatu hal menarik bagiku…
Aku belajar, belajar banyak hal…
Ikhlas… walaupun dada ini sesak.
Kesetiaan pada sang kekasih…
Ketulusan kepada sang kekasih.
Tak apa, tak mengapa,
Kehilanganmu adalah anugerah dari Tuhan untukku.
Tuhan memperingatkanku…
Mungkin kau bukan yang terbaik bagiku…
Mungkin suatu saat ada yang lebih baik untuk diriku.
Terima kasih, kau telah hadir di dalam hidupku…
Meskipun… kau gores luka di hatiku…
Ku tulis puisi ini untukmu,
Agar ku kenang selalu,
Dari janji manismu itu…
0 Komentar