Oleh: M. Azka Ulin Nuha
Asma-asma yang terpaku dalam raga,
bengkak bercorak dalam makna kata.
Tersohor mencumbu dialektika,
tertanamlah diksi maha-maha:
“Mahasiswa.”
Siapa? Mengapa maha? Maha-siswa.
Maha nan digadang-gadang,
bersorak mahaparana peran, katanya...
Ia memang salah satunya,
namun tak kan satu-satunya.
Maha tani, maha kerja,
maha santri dan maha-maha lainnya.
Apakah tak maha?
Tak usah rasa iri, tak usah unggul diri.
Jikalau bersatu laksana puzzle tersaturasi,
seirama semanusia: “Majarma,”
maju belajar bersama.
Aku... katanya mahasiswa.
Stempel maha disingkletku dilema hama,
sekarung dilema ditindih mahamen-maha.
Manusia akan mati,
maha hanyalah diksi.
Lantaran yang Maha,
adalah Maha yang sebenarnya: Yang Maha.
0 Komentar