6/recent/ticker-posts

Kasih Sayang yang Tak Terucap







Kasih Sayang yang Tak Terucap

@kyanacantika


Kala itu, aku mengerang kesal saat sinar matahari pagi menembus jendela, menusuk kulit, dan menyilaukan mataku yang masih terpejam. Aku menarik selimut, berharap bisa kembali tenggelam dalam ketenangan. Namun sia-sia, suara tegas itu kembali memecah ketenangan.

“Ayo bangun! Sudah jam tujuh kurang, mau sekolah atau tidak?”

Dulu, kalimat itu terdengar begitu mengerikan. Aku langsung meloncat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi, lebih memilih menghadapi air dingin ketimbang omelan panjang ibu. Setelah bersiap, dengan sekuat tenaga aku mengayuh sepeda menuju sekolah di desa seberang. Waktu itu, tawa dan canda teman-teman masih terasa nyata, mengiringi hari-hariku.

Aku selalu mengira bahwa menjadi dewasa adalah hal paling indah yang dinanti seorang anak dengan didikan keras. Aku memimpikan kebebasan.

“Mesti! Selalu saja buat ulah!”

Bentakan itu melayang ketika aku tak sengaja menumpahkan teh hangat ke karpet. Tak sempat aku mengucap maaf, aku bergegas masuk ke kamar, menutup pintu, lalu menyusup ke bawah selimut tebal. Aku menangis sejadi-jadinya. Dalam hati kecil, aku bertanya, kenapa harus dibentak? Ibu tidak sayang aku, ya?

Tak lain beda ketika aku sudah berada di bangku SMP, di mana tugasku adalah cuci piring dan menjemur baju, sangat menyebalkan ketika disuruh dengan omelan-omelan yang sangat merusak mood, karena berujung aku juga yang disalahkan.

Hal yang sama terus berulang. Saat SMP, aku pernah lupa membawa buku paket. Dalam hati, aku bergumam, kalau aku bilang, pasti kena marah. Aku hanya bisa duduk di atas jok motor dengan tatapan kosong, berharap ibu tidak mengetahuinya.

Namun harapanku pupus ketika aku baru saja meletakkan tas di atas kasur.

“Buku paketmu ketinggalan?”

Suara itu menembus telingaku.

“Hehe... tau dari mana, Bu?” tanyaku dengan sisa tenaga, lelah setelah dihukum berdiri di depan kelas hingga jam pulang.

“Kamu kira gurumu tidak memberi tahu? Kalau nggak niat sekolah, nggak usah sekolah!”

Rasa sedih, kecewa dan marah itu menjadi satu namun aku hanya bisa diam. Aku terdiam, kembali bertanya-tanya, Ibu memang tidak sayang aku, ya? Aku memang tidak berguna sebagai anak? Semua pikiran itu memenuhi kepalaku hingga aku tertidur dalam seragam yang masih kusut.

Aku berusaha menjalani hari-hari seperti biasa. Sampai akhirnya, hari penerimaan rapor tiba.

“Nilai kok jelek semua! Tiru kakakmu! Dari kelas satu sampai lulus selalu dapat ranking! Jangan malas-malas, baca buku!”

Aku hanya bisa mendengar dengan saksama. Seketika, dadaku terasa sesak. Aku harus menjadi seperti apa agar diakui? Didukung? Disayangi? Dibanggakan?

Semakin dewasa, aku semakin sadar bahwa hidup dalam keluarga broken home itu memang sulit. Ketika aku mencoba menjadi lebih baik, keluarga sendirilah yang sering mematahkan semangatku. Tak terkecuali ibu.

Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti sesuatu.

Tentang kasih sayang yang dulu aku harapkan. Tentang dukungan yang dulu aku nantikan.

Dulu, aku mengira bentakan itu adalah sesuatu yang menyakitkan. Tapi kini, aku paham bahwa itu adalah cara ibu mendisiplinkan. Dulu, aku merasa selalu salah di mata ibu, tapi ternyata itu adalah bentuk perhatian, agar aku tahu mana yang harus diperbaiki.

Dulu, aku menganggap membantu ibu berjualan ke sana kemari adalah tanda bahwa aku kurang beruntung. Anak-anak lain bisa meminta sesuatu dan langsung mendapatkannya. Tapi ternyata, itu adalah cara ibu mengajariku tentang kehidupan. Tentang beratnya perjuangan untuk mendapatkan sesuatu yang diimpikan.

Kini aku menyadari, betapa besarnya kasih sayang ibu kepadaku.

Malam itu, aku duduk bersama ibu, menikmati sedikit deep talk yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

“Mah, kenapa sekarang udah nggak pernah bentak-bentak lagi?” tanyaku pelan.

Ibu tersenyum, menatapku dengan mata yang teduh.

“Karena kamu sudah paham mana yang benar dan salah. Mana yang harus diperbaiki dan mana yang harus dibiarkan. Dulu ibu sering membentakmu agar kamu menjadi perempuan yang kuat. Mendidik anak perempuan tanpa sosok ayah itu berat. Maka dari itu, ibu ajarkan kamu sejak kecil untuk berdiri di atas kaki sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan bertanggung jawab atas setiap hal, sekecil apa pun itu.”

“Ibu tahu, setiap kali kamu menangis, marah, atau kesal, tapi ibu biarkan. Karena ibu yakin, ketika kamu dewasa, kamu akan memahami sendiri.”

Aku terdiam. Ada rasa haru yang menyelip di dadaku.

Dulu, aku membenci bentakan ibu. Kini, aku justru merindukannya. Aku rindu omelannya saat aku berbuat salah, meskipun untuk hal kecil.

Aku sadar, mungkin aku tidak seberuntung anak-anak lain. Tapi belum tentu mereka juga seberuntung aku.

Aku belajar dari orang terbaik dalam hidupku.

Perjalanannya memang panjang, tapi hasilnya nyata. 

Kadang, ini semua hanya persoalan waktu, bukan?

Kasih sayang tidak selalu diungkapkan dengan kata-kata. 

Bisa jadi, sesuatu yang kita anggap menjengkelkan atau menyebalkan,

justru adalah hal yang menyelamatkan kita 

baik saat itu juga atau di masa depan.


Posting Komentar

0 Komentar