6/recent/ticker-posts

Email Untuk Braga


Email Untuk Braga

Ela Yulyani


“Selamat ulang tahun, Ra”. Ucap Shita, seorang perempuan yang sudah lama mengabdikan diri di Panti Asuhan Sunu Trimo.

“Terima kasih bunda”.

Afif, Disa, Reska dan anak-anak lain dengan gembira memberi ucapan selamat kepada Braga yang sedang berulang tahun hari ini. Braga adalah perempuan paling tua di panti tersebut. Sesuai dengan impiannya, dia tidak akan meninggalkan panti Sunu Trimo dan akan mengabdikan dirinya seperti bunda Shita kelak.

“Semoga bahagia terus ya, Ra. Semoga di usia 21 tahun ini kamu bisa segera sidang skripsi”. Ucap seorang laki-laki yang kini berdiri dibelakangnya.

“Sunu, ternyata kamu juga dateng”. Braga terlihat kaget dengan kedatangan teman kecilnya.

“Ini buat kamu, Kasih nama dia Sunu ya”. Ucap Sunu memberi boneka dan satu kotak hadiah.

“Oh iya, satu lagi. Aku tadi mampir ke Pasar Kembang”. Kini ia menyodorkan satu buket bunga.

“Ini terlalu banyak Sunu”.

“Tapi kamu seneng kan?”.

“Iya Sunu, makasih banyak ya. Eh tadi aku dipanggil bunda, kamu mainlah dulu sama anak-anak”. Ucap Braga disusul respon Sunu dengan mengacungkan jempol.

Braga berjalan menuju ruangan pengurus panti yang tak lain adalah bunda Shita. Bunda Shita adalah perempuan berusia 45 tahun. Setelah acara syukuran ulang tahun selesai, bunda Shita memanggil Braga datang ke ruangannya.

“Ini adalah kado ulang tahun dari ibumu. Waktu pengasuh panti menemukanmu di teras masjid, ada buku ini dan ibumu berpesan untuk memberimu nama Braga Ruryana. Ibumu juga meminta untuk memberikan buku ini saat usiamu 21 Tahun”.

“Terimakasih bunda mau ngasih tau persoalan ini”. 

Setelah Braga menerima kado ulang tahun dari ibunya yang dititipkan pada bunda Shita, Braga segera menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat lalu duduk di depan meja yang biasa dia gunakan untuk belajar. Membuka buku itu baginya seperti membuka dunia ibunya. Pada halaman pertama tertulis nama ‘Braga Ruryana & Ruryana’ dan dibawah nama tertulis kalimat Jika bumi pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum, semoga engkau juga lahir ketika bumi pasundan dan Tuhan sedang tersenyum. Ruryana? Bumi pasundan? Siapa Ruryana dan ada apa dengan bumi pasundan? Braga membatin sebelum membuka halaman kedua. Kosong. Halaman kedua dan selanjutnya tidak ada tulisan apapun. Namun pada halaman terakhir tertulis sebuah Alamat email dan passwordnya diberi note ‘Aku suka sekali menulis, untuk itu aku memberimu buku. Kupikir kamupun begitu, sama denganku’.


Dari ruryana@gmail.com

Kepada bragaruryana@gmail.com

Tanggal 05 Maret 2025 00.25


Ruryana. Gadis perantau Sumatera yang kini sedang menjalani semester akhir di salah satu Universitas Bandung, entah mengapa aku ingin kembali menjadi gadis. Kau ingin memanggilku apa? Mamah? Bunda? Ibu? Atau Teteh? Rasanya sekarang aku belum pantas menjadi ibu untukmu. Aku berharap kamu bahagia di usiamu yang ke-21 tahun ini. Aku membayangkanmu tumbuh menjadi sepertiku. Gadis yang tenang dan tidak banyak bicara. Kau seperti apa sekarang tuan putriku? Pasti kau cantik sekali. Menjadi bergunalah untuk bumi yang kau pijak.

Ketika aku berumur 18 tahun, ada banyak sekali lika-liku yang aku hadapi. Aku ingin sekali kuliah tapi ayah tidak mengizinkanku dan berencana akan menjodohkan aku dengan laki-laki berasal dari suku yang sama. Aku tetap memaksa dan seiring berjalannya waktu ayah memberi izin. Aku senang sekali. Namun, pada semester kedua bunda meninggalkan dunia. Kemudian disusul ayah setelah tujuh hari kepergian bunda. Kamu tidak perlu mencari tahu latar belakangku lebih jauh di Sumatera sana. Tetaplah pada lembaran hidupmu.

Sejak saat itu aku tidak tahu lagi akan bertahan hidup untuk apa. Hampa. Tapi ada satu pesan bunda yang aku ingat. ‘tolong bertahan demi bunda, meski bunda lebih dulu tiada’ ya, dengan pesan itu aku mencoba bertahan. Meski lunglai aku tertatih dalam menjalani setiap harinya. Tapi setidaknya aku bisa menyelesaikan kuliahku. 

Bagaimana 21 tahunmu? kamu kuat sekali. Aku bangga denganmu. Aku minta maaf tidak bisa ada bersamamu selama kamu hidup. Aku minta maaf tidak bisa menemani lelahmu dalam menuntut ilmu. Aku minta maaf tidak bisa menjadi sandaranmu ketika kamu merasa kesusahan. Maafkan aku kamu tumbuh menjadi perempuan yang kehilangan peran ayah dan ibu. Namun sungguh, aku berdoa bumi pasundan akan bersaksi bahwa pada diriku tumbuh kasih sayang untukmu.

Selesai, bacalah pesan pesan lainnya ketika kamu luang

Tok… tok… tok… Terdengar suara pintu yang diketuk kemudian disusul salam oleh beberapa anak yang ada diluar kamar. Braga segera menutup bukunya dan bergegas membuka pintu. Ternyata anak-anak mencarinya untuk bermain diluar. Ada Afif, gadis kecil berusia 10 tahun. Begitupun Reska dan Disa yang berusia selisih dua tahun lebih tua dari Afif. Mereka memiliki latar belakang hidup yang berbeda-beda. Afif, kedua orang tuanya meninggal saat dia bayi dan tidak ada kerabat yang ingin mengasuhnya. Disa dan Reska dulunya adalah dua bayi yang selamat dari kebakaran besar di Pasar daerah. Sedangkan anak-anak lain biasanya dititipkan karena ketidakmampuan secara ekonomi. Braga menatap satu persatu anak didepannya, dalam hatinya bergumam setiap dari kita memiliki alasan untuk bertahan hidup dan kalianlah alasan aku bertahan.

“Ayo kita main mbak Ra”. Ajak Disa dengan menggandeng tangan Braga.

“Kalian mau main apa? Bola atau yang lain?”. Tanya Braga memberi mereka pilihan.

“Main balon aja mbak, soalnya bola kita lagi dipinjem mas Sunu sama anak-anak lain”.

“Oke kita main tiup balon aja. Nanti siapa yang lama meletusnya dia yang menang”.

Gelak tawa terdengar di area bermain anak-anak dan disisi lain taman yang dipenuhi anak laki-laki bersama Sunu juga terlihat sangat seru. Panti ini diwarnai kebersamaan dan kebersyukuran penghuninya. Sunurama. Seorang putra dari pemilik Yayasan Panti Asuhan Sunu Trimo. Usianya hanya selisih dua tahun diatas Braga. Ketika kecil dia sering bermain di panti bersama Braga. Orang tuanya berada di Jakarta karena urusan pekerjaan sedangkan rumah milik Sunu berada di Yogyakarta berdekatan dengan kampusnya. Waktu yang dihabiskan Sunu untuk mengunjungi panti sekitar dua jam. Sedangkan Braga merupakan mahasiswa di salah satu Universitas dekat panti. Matahari nampak beranjak dari singgasananya. Meninggalkan temaram, menampakkan gemintang. Jendela-jendela rumah ditutup, permainan anak-anak usai dan Sunu pamit.

“Aku pulang ya Ra, kalo perlu sesuatu hubungin aku aja. Skripsimu loh cepet digarap”. 

“Aku udah selesai loh. Tinggal nunggu wisuda”.

“Ko ga pernah cerita sama aku”.

“Kamu sibuk. Udah sana siap-siap sholat maghrib dulu baru pulang. Aku yo mau nyiapin anak-anak buat sholat”. Sunu mengacungkan jempolnya lagi sebelum punggung Braga menghilang dibalik pintu.

“Emang udah cocok nih”. Ucap sunu membalikkan badannya menuju mushola Panti. Sesekali tersenyum teringat bagaimana Braga tersenyum sebelum menutup pintu.

Braga menyisir rambutnya yang berwarna cokelat itu. Dia kembali duduk diatas kasur dan membuka buku yang siang hari dibacanya.


Dari ruryana@gmail.com

Kepada bragaruryana@gmail.com

Tanggal 27 September 2025 00.10


Aku ingin menulis lagi untukmu. Aku tidak tahu nak, saat kau beranjak dewasa aku masih bertahan di dunia atau tidak. Bayangkan aku, perempuan berambut cokelat panjang. Warna kulit kuning langsat dan kurasa hidungku sedikit mancung. Sebenarnya aku ingin melihatmu beranjak dewasa, melihatmu sama sepertiku.

Aku bertahan diatas kakiku sendiri. Tapi saat aku menulis ini, ketahuilah bahwa usiamu sekitar dua bulan. Tidak mudah mencapai titik ini nak. Awalnya aku membenci kehadiranmu namun aku bukan manusia yang tega melihat manusia lainnya kehilangan hak untuk hidup. Sebelum kamu berada diperutku, aku adalah gadis yang tidak mempunyai siapa-siapa. Aku diklaim memiliki penyakit kleptomania, tapi kurasa aku tidak begitu. Entah mengapa semuanya menjauhiku, teman-teman dan kekasihku. Bahkan aku dipecat dari pekerjaanku. Lalu bagaimana aku menghidupi diriku sendiri?

Semua manusia pergi dariku. Aku kehilangan semuanya termasuk harga diriku, karena aku menjualnya. Demi hidup. Padahal ketika peristiwa itu sudah terjadi aku berpikir lebih baik aku mati saja daripada hidup dengan malu. Satu bulan berlalu, ternyata aku hamil. Laki-laki itu enggan menikahiku, dia hanya memberiku banyak uang untuk aborsi, rumah dan biaya hidupku kedepannya. Entah mengapa aku merasa kau layak lahir ke dunia nak. Uang yang laki-laki itu beri cukup untuk menghidupimu sampai dua tahun kedepan. Aku mengumpat dari keramaian dan aku tidak membutuhkan teman. Entah mengapa dengan kehadiranmu membuat duniaku menjadi ramai. Rasa sakit kadang mengganggu ketika aku mengerjakan skripsi. Pada usia kandungan ke 7 bulan, aku menyelesaikan skripsiku dan menunggu hari dimana aku wisuda.

Nak, suatu saat jangan membenci Tuhan. Benci saja aku. Kau harus yakin, Tuhan memintamu untuk lahir. Pada 5 Juli 2025, aku pergi ke Rumah Sakit dekat rumah. Rasanya perutku sakit sekali. Akhirnya ba’da subuh kamu lahir ke dunia. Kau sudah melihat dunia bukan? Apakah dunia jahat padamu nak?

Tiga hari setelah kelahiranmu aku kembali ke rumah dan mendapatkan kabar bahwa ayahmu meninggal saat melarikan diri dari kejaran polisi. Sebenarnya laki-laki itu adalah orang yang memiliki kedudukan tinggi di Bandung. Namun dia terjerat kasus korupsi. Nak, maafkan aku saat itu juga aku langsung membencimu. Aku takut tidak bisa membahagiakanmu, membesarkanmu dan mencukupi kebutuhanmu. Aku merasa semakin sulit hidupku ketika kau lahir ke dunia. Aku selalu berandai-andai kau tidak pernah lahir ke dunia. Aku mencoba lagi dan lagi. Bertahan demi hidupmu.

Sampai usiamu yang kedua bulan aku tidak sudih memberimu nama. Aku berniat untuk membawamu pergi ke tempat antah berantah. Ya, besok aku akan membawamu ke suatu tempat. Entah kau akan hidup atau mati. Aku hanya ingin kau berhenti berada di sisiku. Pergilah, hadapi hidupmu sendirian.


Ibu membenciku. Tapi di email pertama dia berharap bisa menyayangiku. Lalu kenapa dia membuangku. Batin Braga setelah membaca email kedua dari ibunya. Rasanya sesak sekali. Bahkan dia enggan lanjut membacanya. Braga selalu mengharapkan memiliki orang tua yang harmonis. Orang tua yang lengkap. Namun, rencana manusia tidak melulu sejalan dengan garis tangan Tuhan. Entah siapa yang harus dia salahkan. Dia menenggelamkan wajahnya dibantal dan menangis sejadi-jadinya. Sejak saat itu dia tidak membuka email itu lagi.


4 Bulan berlalu

Hari ini adalah hari wisuda Braga Ruryana. Dihadiri oleh Bunda Shita sebagai wali dan juga Sunu. Sedangkan Anak-anak lain menunggunya di suatu tempat yang sudah disiapkan untuk perayaan wisuda Braga.

“Selamat Braga atas gelar sarjananya”. Haris menghampiri Braga dan menjabat tangannya.

“Makasih mas Haris”. Senyum Braga terlihat menampakkan bahwa hari ini adalah miliknya.

“Selesai ini boleh makan siang bersama? Ajak Bunda dan kakakmu juga”. Ajak Haris kepada Braga.

“Maaf mas, mungkin besok aja. Abis ini aku ada acara. Oh iya, kenalin ini temanku bukan kakakku. Namanya Sunu dan sebelahnya lagi beliau bundaku”.

Setelah memperkenalkan diri, Sunu membawa Braga dam bunda Shita pamit untuk segera pergi ke taman yang sudah disiapkan khusus perayaan. Disepanjang jalan Sunu tidak sekalipun berbicara. Braga dengan sikap tenang dan irit ngomong merasa heran karena Sunu adalah orang yang senang mengawali pembicaraan. 

Meski acara berjalan dengan lancar dan akhirnya anak-anak kembali ke panti bersama bunda Shita. Sunu masih mengawasi Braga dari kejauhan. Perempuan batu itu menolak pulang dan membutuhkan waktu untuk sendiri. Sejauh mata memandang, Braga nampak sedang membuka hpnya. Namun entah apa yang sedang dibukanya, ia terlihat sedih.


Dari ruryana@gmail.com

Kepada bragaruryana@gmail.com

Tanggal 29 September 2025 00.10


Braga. Aku memberimu nama Braga Ruryana. Sungguh aku tidak mempersiapkan apa-apa untuk kedatanganmu. Bahkan untuk sekedar memberimu nama. Aku pergi ke kota yang tidak ada satupun orang yang mengenalku. Jangan tanyakan bagaimana perjalananku saat itu. Karena yang aku rasakan hanyalah kosong. Aku hanya merasakan kehampaan dalam hatiku. Hingga saat aku beristrahat di sebuah mushola, aku melihat banyak orang beribadah. Aku meletakkanmu di teras dalam keadaan kau tertidur. Aku bergegas pergi ke stasiun malam itu juga. 

Aku memberimu nama Braga. Karena kata itu terlintas dalam benakku. Setelah kembali ke Bandung, aku memutuskan untuk tidak kembali ke rumah dan menyewa kamar hotel yang dulu pernah aku singgahi bersama ayahmu. Braga, entah mengapa seiring kereta berjalan membawaku pulang aku sangat merasa kesepian. Aku merasa ada yang bergejolak dalam hatiku. Seperti teriris bahkan lebih sakit daripada saat kau masih ada dalam pangkuanku. Aku tidak mampu membendung tangisanku. Tubuhku lunglai melangkah menjauhi stasiun menuju hotel. Tidak. Aku masih mencoba untuk bangkit. Membiarkanmu jauh dari sisiku adalah keputusanku. 

Tanggal 28 September adalah hari wisudaku. Apakah kamu tumbuh menjadi seorang sarjana, Braga? Jika iya, selamat yaa I’m proud of you. Tidak ada seorangpun disini Braga. Andai disini kamu bersamaku, pasti kau sedang menangis. Karena aku tidak layak mengasuhmu. Tapi rasanya hampa sekali. Ingin menjemputmu kembali tapi tubuhku seperti rapuh Braga. Aku ingin menghilang saja. Tidak ada perayaan apa-apa. Memang apa yang harus dirayakan?

Haruskah kepergianmu aku rayakan? Ternyata tanpa dirimu hidup ini rasanya pahit Braga. Tapi bersamamu juga aku tidak bisa. Braga, setelah wisuda aku kembali ke hotel dekat Jalan Braga. Aku tidak memilih pulang ke rumah karena setiap sudut dalam rumah itu ada isak tangismu Braga, padahal jaraknya hanya 10 menit. Kamu harus kuat sayang. 

Dalam setiap langkahmu, aku berharap kamu menemukan kekuatan untuk menggapai impianmu. Ingatlah, dalam kegelapan sekalipun bintang-bintang akan selalu bersinar. Begitupun dengan dirimu. Braga, aku tidak membencimu. Aku sangat menyayangimu. Aku bersyukur mendengar berita ditemukannya bayi dan salah satu Yayasan Panti Asuhan yang mengambilmu. Meski tidak ada manusia baik untukku, setidaknya ada manusia baik untukmu.

Braga. Tuan putriku. Menjadi bergunalah untuk bumi yang kamu pijak. Menjadi taatlah untuk Tuhanmu yang Maha Mengatur segalanya. Temukan laki-laki baik untukmu, yang memperlakukanmu sebaik-baiknya. Maaf karena perlakuanku, kamu tidak tumbuh tanpa kasih sayangku. Email ini selalu aku tulis untuk memberi tahu ‘perjalanan hidup Ruryana’. Setidaknya ini yang bisa aku beri sebagai kenangan untukmu. Ambilah sebuah hikmah dari setiap perjalanan hidupku. 

Selamat tinggal Braga, Duniaku.

“Sunu, aku mau ke Bandung sekarang”. Ucapan Braga membuat Sunu terheran-heran. 

Tidak ada permintaan Braga yang Sunu tolak. Termasuk pergi ke Bandung tiba-tiba. Sepanjang perjalanan Braga menceritakan apa yang dia baca. Setelah berpikir panjang, Sunu berencana untuk mencari identitas ibu Braga di Rumah Sakit dekat Jalan Braga. Mobil Sunu melintas melewati Hotel Savoy Human. Tempat itukah yang dimaksud pihak Rumah Sakit? Ibu mengakhiri hidupnya di tempat itu? Batin Braga. Sunu dan Braga memiliki Alamat rumah atas nama Ruryana dan semoga itu Alamat yang benar. 

Rumah yang Sunu cari adalah rumah dengan model bangunan tua dan terbengkalai. Sunu mendapat informasi dari tetangga sekitar bahwa pemilik rumah sudah dikuburkan di pemakaman setempat. Sunu bergegas menyetir mobilnya ke tempat yang dimaksud. Sedangkan Braga dengan pandangan kosongnya memikirkan tentang nyata dan tidak nyata sesuatu yang dia alami saat ini. Dia sedang berada di tempat dia lahir namun tidak ada satupun orang yang mengenalnya. Dia berada di bumi pasundan, bumi yang menyaksikan perjalanan hidup ibunya. Sesampainya di pemakaman, Sunu memberitahu maksud dan tujuan kepada penjaga pemakaman. Penjaga tersebut mengarahkan makam yang mungkin dimaksud mereka berdua. Tertulis disana sebuah nama Ruryana 29 September 2025.

Braga hanya memandang hampa disusul air matanya yang mulai deras. Duduk didepan makam seorang ibu yang tidak pernah ditemuinya sejak dia lahir. Tidak mampu berkata apa-apa. Dadanya sesak. Mulutnya bergetar. Entah apa yang harus dia katakan didepan makam ibunya. Braga membayangkan bagaimana lembut tangan seorang ibu saat diciumnya. Braga membayangkan teduhnya senyuman Ruryana.

“Ibu…”. Kata pertama yang keluar dari mulut Braga.

“Bu, laki-laki yang bersamaku adalah Sunu. Dia laki-laki baik dan memperlakukanku dengan sebaik-baiknya”. Lanjut Braga.

“Iya bu, namaku Sunu. Aku satu-satunya laki-laki yang menyayangi Braga. Iya kan, Ra?”

Braga tak menggubrisnya meski sebenarnya dia menaham senyum dan hatinya mengiyakan hal tersebut.

“Ibu, aku tidak membencimu. Aku sangat menyayangimu”. Kini Braga tersenyum.

“Aku juga bu”. Beo Sunu yang langsung dilirik sinis oleh Braga.

“Aku juga sayang ibu sama seperti Braga menyayangi ibu. Tolong saksikan tuan putrimu bahagia hari ini bu. Karena aku ingin melamarnya ditempat tenangmu ini”. Lanjut Sunu dengan mengeluarkan kotak berisi cincin yang digenggamnya dihadapan Braga.

Braga langsung menatap Sunu dan sesekali melihat ke arah kotak tersebut. Matanya berkaca-kaca sekaligus menciptakan tanda tanya tentang benar tidaknya apa yang diucapkan Sunu. Kemudian alis kanan Braga mengangkat dan bibirnya melengkung keatas seperti bulan sabit.

“Daripada aku keduluan sama cowo yang Namanya Haris itu”. Ucap Sunu dengan jujur.

“Oh, ternyata waktu itu kamu cemburu”. Godaan Braga tidak digubris olehnya dan justru lanjut menanyakan jawaban Braga.

“Katamu aku sudah memperlakukan kamu sebaik-baiknya sama seperti pesan ibumu. Jadi gimana Ra? Will you tie the knot with me?”. Braga tersenyum dengan ajakan itu dan kemudian mengangguk.

Memasangkan cincin pada jari Braga merupakan sebuah simbol paling berarti bagi Sunu. Untuk itu dihari-hari selanjutnya Sunu akan mempersiapkan pernikahannya segera dan mempersunting Braga sebagai Tuan putri yang sudah dia sukai dari masa remaja. 

“Kalau ba’da sholat kamu jangan lupa do’ain ibumu, Ra”.

“Iya, mas”. Braga mengucapkannya dengan lirih namun sayup-sayup terdengar.

“Hah? Tadi ngomong apa Ra?”. 

Braga terlihat salah tingkah dan bingung ingin membeo dengan alasan apa. Dia hanya diam tak menggubris dan langsung memasuki mobil.

“Tadi ngomong apa Ra? Mas kan?”. Tanya Sunu memastikan.

“Simulasi jadi istri”. Braga menjawab singkat dan wajah datar menahan gengsinya.

“Oh, Enggeh dek”. Sunu tersenyum geli membayangkan teman kecilnya ini akan menjadi pendamping ibadah terlamanya di dunia. Sedangkan mobil mereka melesat jauh meninggalkan Jalan Braga.

TAMAT

Posting Komentar

0 Komentar