6/recent/ticker-posts

Pahlawan dalam Mimpi

Pahlawan dalam Mimpi

Aisyah Nurfitriyani

Sepi. Ku merasa hampa sekali dalam hidup ini. Ingin ku akhiri tapi takut mati, ingin melanjutkan tapi takut tantangan. Walau tantangan yang ku maksud adalah rasa bosan dan kurang. Setiap hari hanya bangun tidur, makan, kuliah, pulang, dan terus berlanjut. Sebagai mahasiswa di semester tengah, rasanya hal ini sangat membosankan. Tidak mengikuti banyak kegiatan kampus dan jarang aktif. Kurasa kemonotonan hidup ini bias membunuhku sampai titik terdalam. Ku tak tau sampai kapan akan berlanjut.

Sosok inspirasi? Kurasa tak ada hal itu dalam kamusku. Disaat semua orang memiliki sosok inspirasi atau pahlawan dalam hidup mereka, kupikir itu hal yang sia-sia. Mengapa mereka mengidolakan orang yang bahkan tak tau jika kau ada di dunia ini?. Mereka bahkan mengatakan “pahlawanku inspirasiku”. Pfftt… aku tak percaya itu. Buktinya aku yang dulu pernah menganggap ibuku adalah pahlawanku justru meninggalkanku dan ayah demi pria lain. Ayah yang kuanggap pahlawan keluarga justru sering membentakku. Semenjak lulus sekolah dasar aku telah beranggapan tak ada pahlawan sejati di dunia ini.

“Lara, saat ayah pulang kerja nanti, rumah harus bersih! Ini hari minggu, kau tak ada kuliah saat ini”. Perintah ayah yang langsung pergi menutup pintu dengan agak kasar.

Lihat sudah kubilangkan. Walau akhir-akhir ini ayah menurunkan nada bicaranya namun dia masih terlihat tak acuh di depanku. Aku muak.

Ingin kubilang pada ayah bahwa aku ingin tinggal di kos, namun hanya bentakan yang kudapat. Katanya hal itu akan membuatku menyesalnanti. Menyesal kenapa? Justru aku lebih menyesal telah tinggal satu atap dengan orang yang emosinya setipis tisu.

Oke hari ini aku harus bergegas membersihkan rumah sebelum tuan bersumbu pendek itu pulang dan menceramahiku.

Singkat cerita hari Senin pun datang. Hari yang sedikit membahagiakan untukku. Mungkin kalian akan terkejut kenapa aku menyebutnya hari bahagia disaat semua orang menganggapnya hari yang menyebalkan. Tak lain dan tak bukan karena hari Senin jauh dari weekend. Saat weekend aku akan dibebani segala pekerjaan rumah, namun saat hari-hari biasa beban itu sedikit berkurang. Walau akhirnya akan sama saja karena harus bergelut dengan tugas.

Dengan menatap jendela kubergumam, “bosannn… ingin pulang dan tidur”. Si Ratih yang disampingku menyahuti, “Hanya dua mata kuliah kenapa menggerutu? Bersabarlah. Kudengar dosen di mata kuliah kedua sedang ada acara. Kau bias pulang cepat”. 

Aneh sekali temanku ini, walaua kumerasa hampa dalam hidupku, ayahku telah mengeluarkan biaya yang banyak untuk kuliahku. Ya betul aku masih sedikit merasa prihatin dengan ekonomi keluargaku walau sudah tersusun banyak cara mengakhiri hidup di otakku.

Benar saja di mata kuliah kedua dosen kami berhalangan hadir, aku pun pulang dengan tak rela. Di Tengah perjalanan pulang berbagai scenario acak terbayang di otakku. Sempat teringat dengan rencana mengakhiri hidup namun tak dipungkiri jika aku sendiri juga takut hal itu terjadi.

Tanpa membersihkan diri aku langsung berbaring di kasur dan tertidur. Mungkin aku sudah lelah fisik dan batin sehingga memejamkan mata adalah hal yang mudah.

Tiba-tiba seseorang menggedor pintu rumahku dengan keras. Dengan kesal karena tidurku terganggu, kuberanjak dari kasur dan siap memaki siapapun itu. Namun Ketika membuka pintu aku terkejut melihat seseorang yang sangat tampan berdiri dengan raut khawatir. Dengan napas terengah dia memegang pundakku dan berkata, “Kamu Lara? Anak bapak Agus kan? Ayo ke rumah sakit. Ayahmu diserang orang tak dikenal tadi. Tangannya tersayat”. Dengan wajah terkejut kuikuti pemuda tadi ke rumah sakit dengan berboncengan di motorku. Sebenarnya aku heran, apakah dia berlari sampai rumahku? Mengingat rumahku lumayan terpelosok dan jauh dari fasilitas publik. Astaga… kenapa aku memikirkan itu, sekarang ayahku lebih penting.

Sampai di rumah sakit kulihat ayahku telah ditangani oleh dokter. Tangan kirinya terlilit perban. Aku menghampirinya dan berkata, “Ayah baik-baik saja? Tidak ada luka seriuskan?”. Namun jawabannya sinis di luar perkiraanku, “Memangnya kau tidak lihat?! Sudah terluka begini masih bertanya”. Aku yang kesal pun meninggalkan ruang rawat dan menenangkan diriku di taman rumah sakit.

Tak kusangka pemuda tadi mengikutiku dan berkata, “Hei, jangan terlalu membuat hidupmu monoton. Ayo kita beli nasi goreng”.

Heh tak jelas sekali. Apa yang diakatakan. Mengajak makan nasi goreng? Kita bahkan tak saling kenal. Namun tetap kuturuti.

Di tengah peralanan, kulihat pemuda itu tenang sekali seperti tak ada beban di hidupnya. Memang sih tampan tapi misterius.

“Kalau kau kagum padaku katakana saja jangan curi-curi pandang”. Katanya. Aku yang terpegok pun hanya berdehem dan diam kembali.

Di tengah keterdiaman kami, aku terkejut karena tiba-tiba ada kuda lepas di tengah jalan. Siapa yang membiarkan kuda besar itu berkeliaran?. Tiba-tiba pemuda di sampingku berlari menenangkan kuda itu. Ketika aku menyusulnya dia berkata, “Kau tahu? Seekor kuda ini awalnya ganas karena pemiliknya adalah orang yang tak suka hewan. Dia selalu dipecut. Namun suatu hari ia berhasil memenangkan balap kuda. Pemiliknya sangat senang dan menjadi saying dengan kuda ini”.

“Mungkin pemiliknya sudah tobat”. Balasku dengan ketus karena merasa ia menyamakan aku dengan kuda ini.

“Ya begitulah seharusnya. Hidup ini harus punya tujuan. Hanya karena satu pencapaian membuat seseorang yang awalnya tidak menyukaimu menjadi menyayangimu. Mungkin kau belum menyadari jika orang-orang terdekatmu sebenarnya saying padamu hanya saja mereka punya cara sendiri”. Katanya memberiku nasihat.

Tiba-tiba kutersadar sesuatu. Aku merasa memiliki harapan hidup lagi. Aku merasa rasa bosan ini akan berakhir. Aku merasa ayah yang kuanggap kejam sebenarnya orang yang paling saying padaku. Detik itu aku tersadar. Ku pejamkan mata dan membayangkan semua yang telah kulalui.

Ketika kubuka mata Kembali pemuda itu menghilang. Kuda dan jalanan berganti dengan pemandangan kamarku. Ternyata aku baru saja bermimpi. Ini terasa nyata hingga membuatku menangis dalam tidurku. Tiba-tiba terdengar orang masuk rumah dan ternyata ayahku. Aku langsung memeluknya dan mengatakan maaf berulang kali sambil bercucuran air mata. Ayah yang heran pun hanya membalas memelukku sambil melantunkan kata penenang. 

Sejak hari itu aku mulai mendapat semangat hidup lagi. Aku aktif mengikuti kegiatan kampus, rajin membantu ayah, dan sering mengikuti lomba. Terimakasih pada pemuda tampan dalam mimpiku. Sekarang kunobatkan kau sebagai pahlawanku. Memang aku terkesan menjilat ludah sendiri, namun berkat seorang pemuda di mimpiku membuatku lupa arti bosan. Terimakasih, kau telah menyelamatkan satu gadis yang berniat mengakhiri hidup. Terimakasih dan semoga saat kita bertemu lagi di mimpi akan kutagih janji makan nasi goreng bersama.


Posting Komentar

0 Komentar