Fitria Rachmawati Zain
(Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia (TBI), IAIN Surakarta)
(Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia (TBI), IAIN Surakarta)
Seminar maupun lokakarya sangat digemari oleh mahasiswa layaknya
orang yang haus akan ilmu. Mahasiswa yang mengikuti seminar maupun lokakarya
tentu tak akan lupa untuk berfoto. Mahasiswa mengaku cukup paham saja dengan
apa yang disampaikan di suatu acara dan selebihnya lebih banyak diisi dengan
berfoto riang. Dimanapun, mahasiswa manapun suka untuk ber-swafoto atau selfi.
Begitu pula hal yang terjadi saat kuliah perdana IAIN Surakarta
beberapa saat yang lalu. Kuliah perdana yang seharusnya membuat mahasiswa lebih
mengerti tentang Islam, tetapi terkesan hanya formalitas. Beberapa mahasiswa
mendengarkan sekadarnya, tanpa ada niat untuk mencatat ataupun mendengarkan
dengan seksama. Salah satu kebanggaan mengikuti seminar atau lokakarya terletak
pada foto dengan kawan-kawannya atau bersama pembicara. Sebelum kuliah perdana
dimulai, mahasiswa sudah siap dengan gawai canggihnya, berfoto dengan latar
belakang pamflet. Pada akhir sesi mahasiswa rela berbaris untuk berfoto dengan
pembicara.
Saya yakin foto-foto itu tak akan berhenti di handphone
ataupun laptop, mahasiswa dengan pede memasang foto diberbagai
media sosial. Foto hanya dianggap “barang manipulatif” dan penuh rekayasa,
sekaligus ajang eksistensi diri berujung pada pamer di berbagai media sosial.
Dengan adanya instagram, lebih mudah memajang foto. Foto sudah
menjadi gaya hidup.
Mahasiswa yang identik dengan hal akademik mulai terkikis.
Pengalaman pendidikan yang sesungguhnya berlalu begitu saja, dan yang ada
hanya pengalaman-pengalaman palsu. Mahasiswa yang berfoto dengan senyum lebar,
berbaris rapi bersama Azhar Ibrahim, Ph.D kala itu juga sebagai pemalsuan
semata.
Nyatanya memang sangat mudah memanipulasi diri sendiri, juga dengan
gampangnya mahasiswa termanipulasi dengan hal itu. Bre Redana dalam essay-nya
Histeria Selfi (Kompas, Minggu 12 Juni 2016), semua image
tak lagi menjadi sesuatu hal penting, praktik memotret mengambil alih, menjadi
lebih penting daripada foto itu sendiri. Keagungan berfoto melulu menjadi fokus
utama dalam berbagai acara.
Hal yang terpenting dalam suatu acara bukan lagi isi dari acara
tersebut, bukan lagi rasa keinginan tahuan untuk mendengarkan seksama yang diutarakan
pembicara melainkan lebih disibukkan dengan berpakaian sedemikian apik dan
gawai yang siap memotret. Mahasiswa tak lagi disibukkan dengan menyiapkan
materi yang disampaikan. Sebelum dimulai bukan buku catatat yang bertindak,
tapi gawai canggih yang siap menampilkan wajah sumringah dengan latar belakang backdrop
acara.
Tubuh sungguh punya hak untuk bercerita mengenai kenangan,
kejadian, bahkan sejarah dari foto. Tentu ini berbeda dengan foto Moh. Yamin
saat ber-pose dengan anggota Kongres Pemuda II, terpampang di Sepenggal
Sumpah dari Rumah Kos (Tempo, 18-24 Agustus 2014). Moh. Yamin
mengatakan berfoto bukan untuk eksistensi terhadap diri untuk penghargaan,
namun sebagai bukti sejarah. Tentu Moh. Yamin dapat menceritakan kepada kita
perihal fotonya sebagai anggota Kongres Pemuda II. Moh. Yamin dapat
mempertanggungjawabkan, apa yang ada di foto. Bukan hanya semata-mata untuk
pembuktian ke publik. Perihal ini belum tentu sama dengan mahasiswa yang
mengikuti kuliah perdana. Melalui foto diri dapat berbicara banyak hal, busana,
waktu, dan peristiwa.
Euforia berfoto akan terus-menerus berlanjut dalam satu acara.
Mahasiswa akan mengikuti berbagai seminar atau acara yang ngtren hanya
untuk berfoto. Keriuhan foto-foto merupakan etalase yang palsu, sungguh mengganggu.
Maulana Kurnia Putra dalam Foto dan Sejarah yang Bergerak (2015:38),
foto tanpa makna dan kenangan hanya akan jadi narsisme semata, berakibat
menjatuhkan kebermaknaan diri dalam ruang sosial. Foto-foto itu akan selalu
dibayang-banyangi banjir pujian dan komentar.
Tak malukah hanya tersenyum lebar dan berpose dengan embel-embel
mengikuti acara seminar atau sejenisnya. Apakah pantas perbuatan itu dilakukan
oleh seorang akademisi??? Sudahi sajalah. Mari berbenah diri. (http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=7307)
0 Komentar