6/recent/ticker-posts

Kenikmatan Literasi

Semangat Menambah wawasan . Selamat Membaca :)


Kenikmatan, Suplemen Berliterasi

Aprilia Nur Salimah (Solopos, 10 Mei 2016) menulis keterkaitan penggunaan buku oleh mahasiswa dan dosen. Tulisan ANS berhasil menggambarkan dengan pesimis budaya akademis di lingkungan kampus IAIN Surakarta. Saya terperangah dengan realitas yang terjadi. Namun berupaya untuk tidak berapologi. 
Mahasiswa diwajibkan membawa buku agar budaya literasi (baca: melek buku) mulai tumbuh. Bagus memang, namun dapat memicu masalah. Budaya literasi bukanlah produk doktrin yang mau tidak mau harus ditaati.
Aprilia mencermati beberapa mahasiswa yang membawa buku ke kampus. Dibawa bukan berarti dibaca. Disini  kita dapat berpikir lebih kritis. Masalah itu tidak hanya berhenti pada: mengapa buku itu hanya dibawa, tidak dibaca?
Pikiran selanjutnya yang muncul dalam benak saya adalah bagaimana mahasiswa mau menikmati buku. Buku tidak hanya dibaca tapi dinikmati.
Frans Magnis Suseno dalam tulisannya, “Bukuku Surgaku” (2003), menceritakan bagaimana membaca itu benar-benar menjadi surga bagi beliau.
Membaca tidak hanya bertujuan untuk membuka jendela pengetahuan. Membaca adalah ajang untuk melepaskan emosi. Kita bisa melepaskan pikiran-pikiran kita. Mengatasi kegalauan yang muncul dari permasalahan-permasalahan yang seiring terjadi dalam kehidupan.
Dengan membaca kita bisa berkelana ke dunia lain, memiliki kehidupan baru yang lebih indah dari kehidupan yang sebenarnya. Itu menjadikan pikiran kita menjadi lebih kreatif dan terbuka.
Di dunia membaca itu, kita bisa bebas mau pergi ke mana, bagaimana caranya dan hendak melakukan apa. Semua terserah kita, sesuai kesenangan kita. Alhasil beban yang selama ini memberatkan kita untuk bergerak maju, lenyap dengan sendirinya.
Entah kita sadari ataupun tidak, aktivitas membaca melahirkan kenikmatan baru.
Pemantik Baca
Apakah membawa buku dapat merangsang kita membaca buku? Ciptakan magnet yang bisa menarik kita untuk menikmati-baca. Itulah pesan dari Hernowo dalam bukunya, Quantum Reading (2016). Magnet itu berupa pikiran-pikiran positif dari kita membaca dan buku yang kita baca.
Berikan paradigma yang baik pada buku. Semakin banyak pikiran-pikiran positif yang kita sampaikan kepada buku semakin banyak pula magnet yang kita kumpulkan. Daya yang digunakan sebuah buku untuk menarik minat kita akan bertambah besar.
Paradigma tersebut berperan sangat penting dalam  memproduksi kemauan dan kesadaran kita untuk membaca. Segeralah mengganti paradigma buruk kita terhadap buku dengan paradigma yang lebih baik.
Walaupun awalnya kita terpaksa dengan pikiran yang tidak sebenarnya, tapi lama-kelamaan akan ada manfaatnya. Kita akan mulai terbiasa dengan buku, menjadi lebih dekat dengan buku. Bahkan kita akan merasakan kesepian tanpa buku.
Seorang predator buku sudah biasa melahap seabreg buku dalam hitungan hari. Bagaimana strategi dia menikmati buku-buku tersebut? Bagaimana mereka gembira dekat dengan buku?
Daoed Joesoef dalam “Budaya Baca” (2003) menyampaikan bahwa pembudayaan membaca memerlukan waktu yang lama. Dibutuhkan konsistensi dalam penilaian dan penghargaan.
Pembiasaan di rumah, dan juga di kampus, adalah hal yang tidak boleh disepelekan. Karena lewat keteladanan, membaca secara alami sanggup dibiasakan. Peran orangtua menjadi kunci keberhasilan bagi usaha pengembangan budaya baca.
Dia mengisahkan tentang pembiasaan membaca buku ditanamkan sejak kecil. Berawal dari Emak-nya yang mengawali pengajaran kepada beliau yang berumur 4 tahun dengan membaca Alquran, pada hari Nuzulul Quran. Diterangkannya tentang wahyu yang turun pertama kali kepada Nabi Muhammad di Gua Hira yang berbunyi iqra “bacalah”!
Membaca sudah diajarkan para tokoh-tokoh terdahulu. Tiada sejarah yang akan tercipta jika tidak ada kata “membaca”. Hal ini mengandung pengertian bahwa anak harus diberikan motivasi tentang pentingnya membaca.
Tujuannya agar anak secara naluri memiliki kesadaran sendiri untuk mau membaca. Orang tua berperan dalam proses pembiasaan. Budaya literasi bisa diberikan sejak dini, dalam lingkup kecil seperti keluarga.
Biarkan membaca menjadi kebutuhan yang sangat diinginkan sang anak. Sama halnya dengan kebutuhan akan bermain, dimana anak-anak berada di dunia yang sangat mereka nikmati. Dari sejak dinilah manusia seharusnya diajarkan tentang arti sebuah kenikmatan membaca.
Menuntut ilmu ditunjukan dengan mempelajari pemikiran-pemikiran yang telah dibukukan. Jika sejak dini kita diajarkan untuk membaca, maka kenikmatan itu akan terbawa seiring dengan pertumbuhannya.
Semakin dewasa ia akan menyadari ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya akan berguna bagi dirinya sendiri. Ia akan haus akan ilmu, sehingga terus mencari tahu lewat buku-buku yang dibacanya. Inilah arti sebuah kenikmatan membaca buku.
Tanpa Dosen 
ANS telah mengungkapkan gagasan cemerlang, buku adalah alat untuk memenuhi kebutuhan ragawi, yang mampu untuk mengobati kegalauan dan kekhawatiran. Seharusnya hal itu dapat menjadi kebudayaan representasi anak-anak kampus.
Dalam esai lain, karya M. Fauzi Sukri yang berjudul “Guru dan Berguru” (2015) dituliskan bahwa kita bisa berguru dari buku yang kita baca. Jika mahasiswa mau, mereka bisa membaca dengan gagasan, pemikiran, keyakinan, kemampuan, dan emosi jiwa mereka. 
Dengan seluruh kemampuan dan kepekaan mereka, mahasiswa berdialog dengan pengarang, lingkungan mereka dan diri mereka sendiri. Pada akhirnya, bukulah yang menggantikan dosen. Belajar dengan buku, atas bimbingan buku.
Tiada budaya berliterasi tanpa kebiasaan menikmati buku. Untuk membentuk budaya membaca tidak bisa menggunakan cara yang instan. Butuh proses tandur, proses yang sistematik dan kesadaran pribadi masing-masing.
Lantas apa peran dosen di kampus? Dosen bukanlah mandor mahasiswa untuk menyuruh-bawa buku. Dosen adalah kawan belajar mahasiswa dalam menikmati buku. Tauladan diperlukan, meskipun tidak harus.
Butuh energi yang kuat dalam jiwa, untuk mengintegrasikan membaca dengan olah pikiran. Membaca buku harus dinikmati. Budaya membaca berasal dari sebuah kenikmatan.



Okta Nurul Hidayati
Prodi: PAI
Mahasiswa Bidikmisi 2015




Posting Komentar

0 Komentar