6/recent/ticker-posts

PUTRA YANG SEMPURNA


PUTRA YANG SEMPURNA

Oleh : Andriani Ika Saputri 

Namaku terpampang paling atas di papan pengumuman hasil ujian, tapi anehnya aku tidak merasa senang. Mungkin karena aku sudah menduga hasilnya? Benar juga, hasilnya memang selalu seperti itu. Aku tidak pernah gagal menjadi nomor satu. Nilai matematika ku selalu sempurna. Nilai seni ku selalu sempurna. Nilai biologi dan kimia juga sempurna. Semuanya sempurna. 

Ayah menceritakan keberhasilanku ke semua temannya, membangga-banggakanku ke seluruh kenalannya. Tapi, Ia tak pernah sekalipun meraih bahuku sambil memuji keberhasilanku. Tak pernah sekalipun tersenyum sambil berkata ia bangga kepadaku. 

Aku juga selalu memberitahu kabar baik ini pada ibuku. Bahwa lagi dan lagi, aku mendapatkan posisi peringkat satu. Tapi sayang sekali, Ibu sedang sibuk menyuapi kakakku. Ibu hanya meresponnya dengan tersenyum dan mengangguk. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya untuk memujiku. 

“Kamu putra yang hebat!”

“Kamu putra yang sangat pintar!” 

“Kamu putra yang sempurna!”

“Kamu bagaikan hadiah dari Tuhan!”

Aku banyak sekali mendengar pujian-pujian itu dari orang lain. Dari orang tua temanku, dari para tetangga, dan dari para guru. Lucunya, tak pernah ada yang bilang begitu di rumah. Tidak ibu, tidak juga ayah. Sebenarnya seberapa besar usaha yang harus aku lakukan demi bisa mendapatkan pujian mereka? Seberapa tinggi tempat yang harus aku raih? 

Aku memandang beberapa sticky notes yang tertempel asal di meja. Sticky notes yang bertuliskan daftar hal apa saja yang harus aku lakukan. 

“Ayo buat ayah bangga!” 

“Jangan buat ibu sedih!” 

“Ayo jadi dokter dan buat mereka bangga!” 

“Kamu harus lolos masuk universitas terbaik tahun ini demi mereka!” 

“Bantu ayah dan ibu merawat kakak!” 

Aku meraihnya tulisan-tulisan itu satu persatu dan membacanya. Semua yang aku lakukan selama ini adalah demi ayahku, demi ibuku, demi kakakku, demi keluargaku, demi mereka. Semua orang mengatakan aku adalah putra yang sempurna, putra yang berbakti, hadiah terbaik dari Tuhan yang dianugerahkan kepada orang tuaku. 

“Apakah benar aku sempurna?” 

“Apakah benar aku adalah hadiah dari Tuhan?”

Aku menatap kakakku yang sedang bermain tebak-tebakan warna bersama ibu. Ibu menunjukkan bola berwarna biru lalu menanyakannya kepada kakakku, “Sayang, coba tebak bola ini warnanya apa?”. Kakakku tampak berpikir keras. Dia memandangi bola itu lalu menjawab, “Merah! Merah!” Ibu tertawa dan mengelus puncak kepalanya. “Bukan merah sayang, ini biru”. “Biru! Biru!”. “Hahaha, Pintarnya anak ibu.” Puji ibu sambil memeluknya. Tiba-tiba ayah juga datang. “Wah! Anak ayah sudah bisa membedakan warna, ya? Pintarnya~” Begitu katanya sebelum akhirnya bergabung memeluk kakak. 

Aku merasa dejavu. Sepuluh tahun yang lalu ketika usiaku baru tujuh tahun, kakakku berusia sepuluh tahun. Waktu itu aku memenangkan lomba pidato pertamaku. Aku membawa pulang piala berharap ayah dan ibu akan merasa bangga. Tapi tidak, aku salah, mereka sudah merasa bangga tanpa kemenanganku. Mereka sudah sangat bahagia tanpa pialaku.

Mereka terharu sampai menangis melihat kakakku yang akhirnya bisa mengucapkan kata lain selain kata ‘ibu’. Selama bertahun-tahun kakak yang baru bisa mengucapkan satu kata itu saja akhirnya bisa mengucapkan kata lain juga. Sejujurnya itu memang sangat membahagiakan. Lebih membahagiakan daripada anak normal yang memenangkan lomba pidato pertamanya. 

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, Apa yang mereka pikirkan setiap saat adalah ‘Apakah putra sulung mereka sudah bisa mengucapkan kata baru? Apakah ia sudah menambah kosakatanya?’ Mereka tidak pernah sekali saja berpikir tentang, ‘Apakah putra bungsu mereka kesulitan di sekolahnya?’ Tidak juga pernah bertanya tanya ‘Apakah putra bungsu mereka mendapatkan prestasi baru lagi? Seberapa banyak lagi aku harus menang? Seberapa banyak lagi piala yang harus aku bawa pulang? 

“Shaka, tolong jaga kakak sebentar ya… Ibu mau memasak, ayah sedang mandi.” Pinta ibu. “Ya Ibu” Jawabku. “Kakak makan apel belum selesai, suapi dia ya.” Perintahnya lagi. 

Aku memandang kakak yang menonton kartun favorit nya di TV. Ketika aku sudah mulai belajar bagaimana caranya membuat kartun, dia baru tahu cara menontonnya. Ketika aku sudah bisa menumbuhkan kebun apel ku sendiri, dia bahkan harus disuapi untuk sekedar memakannya. Aku sangat mengerti mengapa ayah dan ibu lebih memperhatikannya, Aku paham. Dia memang butuh perhatian lebih dari mereka. 

Tapi sekali saja, hanya sekali saja, aku juga ingin mendapatkan perhatian yang sama. Aku tahu aku adalah anak normal yang bisa dengan mudahnya memenangkan kompetisi pidato. Aku anak normal yang dengan mudahnya mendapatkan peringkat satu di sekolah. Aku anak yang sangat normal. Meski begitu, aku juga ingin merasakan pujian mereka setiap kali aku berhasil melakukan sesuatu. Aku juga ingin dielus kepalanya, dipeluk, dimanja, Ah! Kekanak-kanakan sekali hahaha! Kenapa aku jadi anak bayi yang haus perhatian begini! Memalukan! Ayah pasti malu punya putra tukang mengeluh seperti aku. 

Prang!!

Kakak menjatuhkan sepiring apel dari tanganku yang padahal tinggal satu suapan lagi habis. Ia menangis. Entahlah, ia memang gampang sekali menangis. Yang terjadi berikutnya tentu saja Ayah dan ibu memarahiku. Mereka menjauhkan kakak dari pecahan piring itu supaya ia tidak terluka. Aku membersihkan kekacauan itu dengan perasaan kesal sejujurnya. Sedikit tidak adil bukan? Kan kakak yang memecahkannya, malah aku yang dimarahi. Tapi tidak tentu saja. Itu adil. Itu adil karena hanya salah satu dari kami yang normal. Aku normal. 

Tiba-tiba jariku tergores pecahan kaca. Lukanya memang tidak dalam, tapi  sudah berhasil membuatku kesakitan. Aku memandang ayah dan ibu, mereka sama sekali tak peduli padaku. Mereka sibuk menenangkan kakak yang masih menangis karena syok piringnya pecah. Tidak, tidak! Bukannya mereka sedang tidak peduli padaku, tidak begitu! Mereka hanya tidak tahu kalau aku terluka, iya, itu saja. 

Aku membuang sampah pecahan kacanya lalu pergi ke dapur. Melihat sirup stroberi disana membuatku jadi haus. Aku memenuhi gelas dengan air dingin. Tapi belum juga aku menuangkan sirupnya, isi gelas itu sudah menjadi merah. Loh? Bagaimana bisa? 

Ah… goresan luka di tanganku belum dibalut rupanya, makanya darah mengalir dari sana dan membuat airnya jadi merah. Aku kira apa hahaha… mengagetkan saja. Aku membasuh lukanya di wastafel. Sekarang darahnya mengalir kesana. Warna merah dan bau darah memenuhi seluruh wastafel. Tanpa sadar siku ku malah tidak sengaja menjatuhkan gelas yang hendak aku isi air sirup tadi. Gelasnya hancur, sama seperti piring wadah apel yang tadi. Ayah berteriak dari dalam ruang tamu. “SHAKA? APA YANG TERJADI?”

Cepat-cepat aku membereskan pecahan kacanya sebelum ayah memarahiku lagi. Karena buru-buru aku jadi melukai tanganku lagi, banyak sekali. Sial! Sekarang itu tidak penting, yang penting adalah membersihkan kekacauan ini dulu. Lebih banyak darah mengucur dari tanganku. Entah mengapa bukan hanya tangan, tapi kepalaku ikut terasa sakit juga. Pandanganku berkunang-kunang, aku mulai memikirkan hal hal yang gila yang seharusnya tidak pernah aku pikirkan. 

Seperti… 

“Bagaimana ya jadinya jika aku menusuk kakak dengan pecahan kaca ini?”

“Apa yang akan terjadi bila kakak tidak ada lagi di dunia ini?”

“Apakah ayah akan lebih menyayangiku?”

“Apakah ibu akan lebih memperhatikanku?” 

Orang gila! Tidak waras! Bisa-bisanya kau berpikir untuk mencelakai saudara kandungmu sendiri! Tapi sejujurnya itu bukan ide yang buruk kan? Ayah dan ibu jadi tidak akan kesusahan lagi merawat kakak yang tidak bisa hidup mandiri itu. Jangan dasar bodoh! Ayah dan ibu sangat menyayangi kakak. Mereka akan sedih kalau kakak tidak ada lagi di dunia ini. Dasar adik yang jahat! 

Tapi seandainya… Ah, ini hanya seandainya saja… Seandainya aku lah yang tidak ada lagi di dunia ini, apakah mereka akan sesedih bila kakak yang tidak ada lagi di dunia ini ya? Gawat aku jadi penasaran. Haruskah aku mencobanya? Kita kan tidak akan tahu kalau belum mencoba. 

Sungguh jenius sekali. Daripada menghilangkan kakak dari dunia ini dan membuat mereka sedih, lebih baik aku sendiri saja yang hilang. Lagipula menusuk kakak dengan pecahan gelas ini akan sulit, karena ayah dan ibu akan melindunginya dengan sekuat tenaga. 

Nah, kalau menusuk diriku sendiri pasti sangat mudah bukan? Tidak akan ada yang menyadarinya. Ayah dan ibu tidak akan mengetahuinya. Setidaknya nanti, mereka akan memperhatikanku pada akhirnya. Dan setidaknya nanti, mereka tidak akan sesedih kalau kakak yang mengalaminya. Harusnya sekarang mereka bahagia, karena mereka tinggal fokus saja membesarkan seorang putra. Benar, aku memang putra yang sempurna. Putra yang selalu memikirkan kebahagian orang tuanya. 




Posting Komentar

0 Komentar