Oleh: 011_Queen
“Hai, Bintang. Aku datang lagi malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Kau tahu, hari ini aku hampir menyerah. Dosen mengatakan tugasku masih jauh dari sempurna, dan aku hanya bisa tersenyum pahit sambil mengingat wajah ibu yang terakhir kali kubawa dalam mimpi. Empat tahun usiaku saat itu, terlalu kecil untuk memahami mengapa tangannya yang hangat tiba-tiba menjadi dingin. Tapi pesannya masih bergema hingga kini ‘Jangan menyerah, Nak. Kau harus kuat.’ Aku mencoba, Bintang. Sungguh, aku mencoba.”
“Sebelas tahun kemudian, Ayah menyusul ibu. Usia lima belas, cukup dewasa untuk merasakan pahitnya ditinggal sendirian di dunia yang kejam ini. Tidak ada lagi pelukan hangat, tidak ada lagi suara yang menenangkan ketika badai datang. Hanya aku, kegelapan, dan dirimu yang setia menemani. Kau menjadi satu-satunya saksi air mata yang kutumpahkan setiap malam, satu-satunya teman yang tidak pernah pergi meski fajar menyingsing.”
“Aku tahu ini terdengar gila, Bintang. Berbicara dengan titik cahaya di langit yang mungkin sudah mati jutaan tahun lalu. Tapi kau adalah satu-satunya yang tersisa. Ketika dunia ini terasa terlalu berat untuk dipikul sendirian, kau selalu ada di sana, berkedip lembut seakan berkata ‘Aku mengerti.’ Setiap kali aku ingin menyerah, cahayamu mengingatkanku pada janji yang pernah kubuat pada ibu.”
“Kuliah ini bukan untuk diriku, Bintang. Ini untuk mereka yang sudah tiada. Untuk membuktikan bahwa anak yang mereka tinggalkan tidak sia-sia. Bahwa cinta yang mereka berikan tidak terkubur bersama jasad mereka. Setiap halaman yang kubaca, setiap ujian yang kulalui, setiap sepertiga malam aku terbangun untuk menangis dalam sujud dan berbisik doa kepada langit yang gelap, berharap suara kecilku sampai ke tempat kalian berada, satu-satunya waktu di mana aku boleh lemah sepenuhnya. Semuanya adalah bentuk cintaku yang terlambat tersampaikan. Aku hidup untuk menghormati kenangan mereka.”
“Malam ini, seperti malam-malam lainnya, aku berbagi cerita denganmu. Tentang betapa beratnya hidup sebatang kara, tentang rindu yang tak pernah hilang, tentang harapan yang hampir pupus tapi selalu bangkit kembali. Kau mendengarkan dengan sabar, Bintang. Tidak pernah menghakimi, tidak pernah lelah. Terima kasih telah menjadi teman terbaikku di kegelapan ini. Terima kasih telah menjadi representasi dari mereka yang kucintai.”
“Tunggu... kau berkedip berbeda malam ini. Lebih terang, lebih hangat. Seakan... seakan ingin mengatakan sesuatu. Tiba-tiba aku menyadari, selama ini aku tidak pernah benar-benar sendirian. Kau bukan hanya bintang biasa, bukan hanya titik cahaya di langit. Kau adalah bukti bahwa cinta tidak pernah mati, bahwa mereka yang telah pergi tidak pernah benar-benar meninggalkan kita. Namaku adalah Bulan, dan mereka memberiku nama ini bukan tanpa alasan. Bulan dan bintang, kami memang ditakdirkan untuk bersama di langit yang sama. Kau adalah cara mereka mengatakan ‘Kami bangga padamu, Bulan. Teruslah bersinar seperti namamu. Kau tidak pernah sendirian.’ Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku tersenyum tulus ke arah langit, menyadari bahwa takdir sudah merangkai cerita ini sejak hari pertama aku lahir.”
“Teruslah bersamaku, Bintang (Ayah dan Ibu).”
0 Komentar