6/recent/ticker-posts

Keluarga Tanpa KK


Keluarga Tanpa KK

Hawa Riyatin Zahra

 

Keluarga. Apa yang terbesit dalam benak kamu saat membaca kata pertama dalam tulisan ini? Ayah? Ibu? Rumah? Atau bahkan tempat pulang? Yaa, itu semua benar. Namun, bagaimana jika aku mengatakan bahwa ada keluarga tanpa Kartu Keluarga (KK) di dunia ini?

 Oke, cerita ini dimulai saat aku mendaftarkan diri menjadi volunteer di tengah kekacauan hidup kala itu.  Keputusan nekat yang tidak akan pernah aku sesali hingga detik ini. Kami berlima belas berangkat ke sebuah desa di bawah kaki Gunung Lawu. Sepanjang perjalanan, kami disajikan pemandangan alam yang menakjubkan. Gunung-gunung berdiri kokoh, selaras dengan awan biru menghiasi bagian atasnya, belum lagi udara dingin nan segar yang menerpa kami selama di perjalanan.

Lahir dan tumbuh di desa pedalaman pula, aku pikir desa yang kami tuju akan 11/12 dengan desa kelahiranku. Tetapi prediksiku sedikit meleset, desa itu benar-benar pedalaman (IMO) sebenar-benar itu. Belum lagi dukuh di mana kami ditugaskan. Jalannya naik turun, kanan kiri hutan jati, dingin lagi. Kami menggunakan salah satu rumah warga sebagai posko. Harapannya sih agar lebih dekat dan dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat. Tapi siapa sangka, posko kami malah berada di tengah hutan, tidak punya tetangga, tidak ada sinyal bahkan kekurangan air bersih. Gimana nggak kaget, ya?

Awalnya aku benar-benar ragu, bisa nggak ya kita survive di sini? Apa ya yang bisa kami berikan pada masyarakat desa ini? Bakal diterima baik nggak ya kita di sini? Tapi hari-hari terus berlalu, ketakutanku silih purna kala aku mulai merasakan kehangatan masyarakat sekitar. Setiap kami kunjungi beberapa rumah warga, senyum bahagia nan bangga itu tidak pernah luntur sepanjang bercengkrama. Baru beberapa menit lalu kami saling mengenal, rasanya seperti saudara yang sudah lama tidak bertemu. Mereka bahkan tidak sungkan membagikan kisah hidup. Ternyata hanya butuh waktu dua hari sampai kami merasa seperti AKAMSI (Anak Kampung Sini). Semangat mereka menyambut kami inilah yang akhirnya menjadi pemicu untuk memberikan terbaik dari yang kami bisa. Meski hidup tanpa sinyal, bersebelahan dengan makhluk asli penghuni hutan (monyet), dan menghadapi malam-malam dingin dengan suara auman yang tak tahu sumbernya itu, nyatanya bisa kami lalui bersama.

 Subuh-subuh mencari air di masjid, mencuci baju pun di masjid, hingga menggetuk rumah warga di jam 10 malam guna menumpang membersihkan diri, sudah kerap kami lakukan. Berlima belas rasa-rasanya di sana hanya menyusahkan saja. Namun balasan warga malah menghangatkan hati di tengah kondisi dingin ini. Mereka justru membuka lebar pintu rumahnya untuk kami. Menawarkan rumah itu, rumah sana yang banyak air. Hingga berbagi apa saja yang mereka miliki. Beruntungnya lagi, kami berlima belas tidak pernah kelaparan meski jauh dari peradaban. Selalu ada kiriman dari para warga sekitar yang jukjuk datang.

Tapi sebenarnya kami tidak hanya numpang tidur dan mandi di sana. Ada beberapa hal pula yang kami usahakan untuk warga. Seperti memasang plang petunjuk arah, membantu mengajar, mengadakan check kesehatan, hingga mengadakan lomba untuk anak-anak sekitar. Kami juga membuka tangan lebar apabila desa atau masyarakat membutuhkan bantuan. Dalam acara-acara penting desa, kami juga kerap dilibatkan. Kami berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakat di sana. Sama halnya ketika mereka menerima kami dengan baik pula. Ah ya, posko kami yang di tengah hutan itu juga makin ramai dari hari ke hari. Anak-anak kerap datang untuk les atau sekedar main bola di depan posko. Belum lagi kalau karang taruna ikut nimbrung, bisa semalaman kami ngobrol ngalor-ngidul.

 Secara pribadi, hatiku menghangat menerima semua cinta dari manusia-manusia yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Candaan di malam hari sambil mengetuk palu membuat plang jalan, tawa tanpa beban merayakan HUT RI ke 79, hingga rapat sampai larut malam sambil menikmati berbagai olahan singkong itu benar-benar tertanam dalam memoriku. Aku merasa benar hidup selama di sana. Ketakutanku tidak memberikan apa-apa pada masyarakat hilang sirna kala aku menyadari 'ah, ternyata masyarakat ini yang malah memberiku banyak pelajaran, melebihi apa yang aku dapatkan di bangku perkuliahan'. 

Yaa, tempat itu itu bernama Kamal, sedang masyarakat yang mencintai kami berlima belas itu berdiam di dukuh Mulworejo/Kakas RW 06. Aku menyebutnya keluarga tanpa KK. Kalau kataku, minimal sekali dalam seumur hidupmu, datanglah ke sana, banyak destinasi wisata yang perlu kamu coba. By the way, kalau kamu bagaimana? Sudah kamu temukan keluarga tanpa KK versimu?

Kapan-kapan lagi. Aku pamit, see you.

 

Note :

IMO (In My Opinion) = Menurutku

Jukjuk    = Tiba-tiba

Ngalor-Ngidul    = Ke Sana-sini

Posting Komentar

1 Komentar