6/recent/ticker-posts

Surat-Surat yang Tak Pernah Bernama


Surat-Surat yang Tak Pernah Bernama
Oleh: Haya Nur Fadhilah

Prolog – Lembar Kertas di Tengah Rintik Hujan

Di dalam kelas yang mulai lengang sore itu, Rania masih duduk di bangkunya, menikmati keheningan setelah bel pulang berbunyi. Gerimis di luar jendela dan suara murid-murid SMK Nusantara di area parkiran berbaur dengan deru mesin motor, menciptakan suasana khas sore seusai kelas.

Saat hendak memasukkan buku-bukunya ke dalam ransel, matanya menangkap sesuatu di bawah meja—selembar kertas terlipat rapi. Penasaran, ia mengambilnya dan membuka perlahan. Di atas kertas, serangkaian kalimat tertulis rapi dengan tinta hitam yang mulai memudar, seolah menyimpan kisah yang telah lama menunggu ditemukan.

Aku menatap hujan di luar jendela,
Suara gemericiknya bagaikan alunan lagu yang mengisi kekosongan dalam hatiku. Andai aku bisa menemukan seseorang yang bisa memahami sunyiku…

Tidak ada nama penulis.
Rania membaca ulang, membiarkan setiap kata meresap. Kalimatnya sederhana, tapi terasa dekat—seolah penulisnya memahami sesuatu yang selama ini hanya ia simpan dalam diam.

---

Misteri yang Berlanjut

Hari-hari berikutnya, lembaran-lembaran itu terus muncul—di bawah meja, di sudut kelas, bahkan di dekat jendela tempat duduk Rania. Aneh, tak ada yang peduli. Hanya Rania yang selalu menemukannya. Setiap potongan cerita memuat tema yang sama: kesepian, kehilangan, dan kerinduan untuk ditemukan.

"Apa ini semacam permainan?" Katanya lirih, sembari menyeruput es teh yang mulai mencair di hadapannya.

Di seberang meja, Lala—teman cewek satu-satunya di jurusan teknik mesin—mengangkat alis.

"Mungkin ada yang naksir, tapi nggak berani ngomong?" tebak Lala santai.

Rania tertawa kecil, lalu menggeleng.
"Nggak mungkin. Kita ini anak teknik di sekolah yang isinya 90% cowok. Siapa coba yang nulis beginian?"

Tapi justru itu yang membuatnya penasaran. Di antara siswa-siswa teknik, siapa yang menyembunyikan sisi puitis seperti itu?

---

Jawaban dalam Balasan

Suatu hari setelah menemukan kertas kelima, Rania merasa perlu memberikan tanggapan. Ditatapnya sejenak kertas itu lalu dibaliknya. Di atas sisi kertas yang masih kosong itu tangannnya mulai menuliskan serangkaian kalimat jawaban:

Kata-katamu menggema dalam benakku,
Mengisi ruang-ruang yang tak bersuara.
Aku mendengar.
Adakah suara yang memahami asa yang terlupakan dalam kesendirianmu?

Keesokan harinya, ia menemukan balasan singkat namun bermakna:

Mungkin sunyi ini tak lagi sendiri.

Rania tersenyum kecil saat membacanya. Namun, rasa ingin tahunya justru semakin menguat. Siapa sebenarnya sosok di balik tulisan-tulisan ini?

---

Kejadian yang Mengusik

Siang itu, setelah menyelesaikan sesi penilaian praktikum di bengkel mesin, Rania merasa haus. Ia melangkah keluar, bergegas menuju kantin—sekadar membeli minuman untuk menyegarkan diri. Namun, sebuah suara dari dalam bengkel tiba-tiba menghentikan langkahnya.

BRAK!
Suara benturan keras menggema dari dalam ruang bengkel, disusul oleh teguran tajam.

"SATRIA! APA YANG KAMU LAKUKAN?!"

Rania langsung mengenali suara itu—Pak Hendro, instruktur praktik yang terkenal disiplin dan tak pernah mentoleransi kelalaian. Dengan hati-hati, ia mengintip ke dalam.

Di tengah ruangan, ia melihat Satria terdiam, berdiri mematung dengan wajah sangat tegang. Di lantai, sebuah poros besi tergeletak, bergulir menjauh dari mesin bubut. Mata pahat yang terlepas dari dudukannya berkilat di bawah lampu bengkel.

Pak Hendro melangkah mendekati Satria, sorot matanya tajam.

"Sudah berapa kali kamu praktik, hah? Kenapa masih saja ceroboh seperti ini? Kamu sadar nggak, kalau pahat itu sampai terlempar, bisa mencelakai orang lain?"

Satria diam, rahangnya mengeras.
Pak Hendro menarik napas dalam, berusaha meredam emosinya yang sempat memuncak.

"Praktik teknik permesinan bukan sekadar memasang komponen sembarangan. Ini tentang presisi, pemahaman, dan tanggung jawab! Kalau kamu terus begini, bagaimana bisa dipercaya saat sudah bekerja nanti?"

Keheningan menyelimuti ruangan. Semua orang terpaku menatap keduanya.

Setelah berlalu beberapa detik yang terasa begitu panjang, Pak Hendro akhirnya menghela napas lalu membalikkan badan, melangkah pergi, meninggalkan suasana yang masih tegang.

Satria masih berdiri mematung di tempatnya, menatap kosong ke arah poros besi yang jatuh, seolah pikirannya ikut terjatuh bersamanya.

Rania memperhatikan dari kejauhan. Sesuatu dalam dirinya bergetar. Tanpa sadar, Rania menelan ludah. Tatapan kosong itu, entah mengapa, terasa begitu familiar, seolah membisikkan sesuatu dari masa lalu yang tak sepenuhnya ia ingat.

Setelah ragu beberapa saat, ia akhirnya memberanikan diri untuk mendekat.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya pelan.
Satria menoleh. Mata tajamnya menusuk.

"Kenapa? Mau ikut menyalahkan juga?" Suaranya terdengar dingin dan sinis.

Rania menggeleng. "Bukan begitu. Aku cuma..."

Tapi sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Satria sudah lebih dulu berbalik dan pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Rania dengan seribu pertanyaan yang berputar di kepalanya.

---

Rahasia yang Terungkap

Hari itu, tak ada lembaran kertas di bawah mejanya. Rania merasa sedikit kecewa. Namun, di balik itu, ada kegelisahan yang sulit ia jelaskan—seolah ada sesuatu yang hilang.

Tapi keesokan harinya, lembaran itu muncul kembali. Kali ini, kata-katanya lebih tajam.

Terkadang,
Dunia ini terasa seperti ruang hampa.
Aku berusaha menjadi sesuatu,
Tapi selalu gagal.
Aku mencoba berbicara,
Tapi tak ada yang mau mendengar.
Mungkin aku memang tidak seharusnya ada.

Jantung Rania berdegup kencang. Tulisan itu begitu gelap, penuh luka. Dan ia langsung menyadari siapa sebenarnya sosok yang tersembunyi di balik setiap kata itu.

Tanpa ragu, ia bangkit dari kursinya. Ada seseorang yang harus ia temui—Satria.

---

Di belakang bengkel mesin, di bawah rindangnya pohon mahoni, Rania menemukannya—Satria duduk menyendiri di atas akarnya yang menyembul keluar tanah. Matanya kosong menatap halaman yang mulai sepi. Angin siang menggoyang daun-daun, suara mesin terdengar samar dari dalam bengkel, tapi tak ada yang benar-benar mengusik diamnya.

Perlahan, Rania mendekat.
"Kenapa kamu menulis itu?" tanyanya pelan.

Satria mendongak, menghela napas perlahan. Sekilas, ia menatap Rania, tetapi kemudian segera membuang pandangannya ke samping kiri, menghindari tatapan. Hening menggantung di antara mereka.

Rania menimbang sejenak lalu melanjutkan, "Aku nggak akan pergi sampai kamu cerita."

Satria bersikukuh dalam diam. Tak sepatah katapun terlontar dari mulutnya. Napasnya berat, matanya menatap kosong ke tanah.

Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya meluncur nyaris tanpa tenaga—pelan, tersendat, seperti seperti seseorang yang dipaksa menggali luka lama yang selama ini dikubur rapat.

“Aku…” Kalimatnya terpotong, mengambang. Bayangan seseorang muncul di pikirannya—tatapan tajam, suara tegas penuh otoritas seolah tak mau menerima bantahan. Ayahnya.

Satria menarik napas dalam, tapi udara terasa berat di dadanya.

“Aku nggak pernah ingin ada di sini.”
Kalimat itu akhirnya lolos, tapi terdengar begitu pahit, seolah baru pertama kali ia benar-benar mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.

---

Luka yang Tersembunyi

“Ayahku punya bengkel mesin. Dirintis dari nol, sekarang sudah lumayan besar, bahkan ada beberapa karyawan. Sejak dulu, ayah selalu bilang kalau usaha itu harus diwariskan. Dan karena aku anak lelaki satu-satunya, otomatis akulah yang ‘ditunjuk’ untuk meneruskannya.”

Satria menghela napas, lalu melanjutkan.

“Kakakku semuanya perempuan. Dari kecil aku dibentuk buat jadi ‘lpenerus’. Padahal... aku nggak pernah suka dunia mesin. Aku pengin masuk sastra. Aku pengin jadi penulis. Tapi pas aku bilang itu ke ayah, dia langsung murka. Katanya aku nggak tahu diri, nggak ngerti perjuangan orang tua.”

Tangannya mengusap wajah, seolah berusaha menghapus sisa kecewa yang belum kering.

“Yang paling nyesek, ibu dan kakak-kakakku juga setuju sama ayah. Nggak ada satu pun yang dukung aku. Aku cuma dianggap pembangkang.”

Satria menarik napas panjang. Rania di sampingnya tetap diam, tapi matanya menunjukkan kalau dia mendengarkan.

“Akhirnya aku masuk teknik mesin. Bukan karena pengin, tapi karena takut. Takut dibilang anak durhaka. Tapi di kelas, aku ngerasa asing. Nggak nyambung sama pelajarannya. Setiap nilai jelek, setiap gagal praktik, rasanya dunia runtuh. Karena itu berarti... aku gagal jadi kebanggaan keluarga.”

Ia menunduk, suaranya makin pelan.

“Tapi mereka nggak tahu... aku masih nulis diam-diam. Puisi, cerita pendek, atau sekadar curhat. Tentang rindu, kegelisahan, kemarahan, keputusasaan, perasaan yang nggak bisa aku ucapin. Karena aku nggak tahu harus cerita ke siapa.”

Satria memandangi telapak tangannya.

“Tapi suatu hari, saat Ibu lagi beresin meja belajarku, dia menemukan kertas-kertas ulangan dengan nilai jelek. Di situ juga ada tumpukan tulisanku. Ibu langsung marah. Katanya aku bukannya belajar, malah menghabiskan waktu untuk terus-terusan menulis.”
Ia menghela napas.

“Pas ayah tahu, semua tulisanku dibakar. Aku juga dihukum. Mereka anggap itu cuma buang-buang waktu.”

Rania menggigit bibirnya, menahan emosi.
Satria menatap langit yang mulai meredup, pikirannya menerawang jauh saat ia kembali melanjutkan ceritanya.

“Sejak itu, aku berhenti nulis di rumah. Tapi aku nulis di sekolah. Di balik kertas tugas, di buku kosong. Kadang sengaja kujatuhin, kadang sengaja kutaruh di tempat yang mudah dilihat. Bukan buat cari perhatian, tapi aku berharap, suatu saat ada seseorang yang sudi membacanya. Dan kamu... satu-satunya yang pernah baca dan peduli.”

Rania tersenyum kecil. “Aku suka tulisanmu, Sat. Tulus, jujur, dan dalam.”

Satria menoleh ke Rania dengan pandangan penuh rasa terima kasih, dan perlahan, ketenangan mulai muncul di matanya.

“Aku juga suka nulis,” kata Rania pelan. “Cerpen, kebanyakan. Tapi saat baca tulisanmu, aku ngerasa... kita sama. Bukan cuma karena jurusan yang nggak sesuai, tapi karena kita sama-sama cinta kata.”
Mereka diam sejenak, tenggelam dalam suara angin yang menyapu dedaunan kering.

“Kamu mungkin merasa gagal di teknik. Menurutku sih, bukan karena bodoh, tapi karena kamu nggak menemukan alasan kuat untuk bertahan. Passion kamu udah jelas. Tapi hidup kadang nggak selalu kasih jalan yang kita mau.”

“Hidup itu keras, Sat. Cari nafkah nggak gampang. Kamu mungkin nggak suka teknik, tapi kamu punya bekal—ayahmu punya usaha. Itu privilege yang nggak semua orang punya. Kadang, kita harus bertahan dulu. Bukan karena menyerah, tapi karena tanggung jawab,” lanjut Rania.

Satria menatap tanah, diam. Ucapannya Rania cukup menohok, tapi entah kenapa, tanpa ia sadari, hati kecilnya justru membenarkan.

“Tapi itu nggak berarti kamu harus ninggalin nulis,” kata Rania.

“Nulis bisa tetap hidup, meski kamu jalan di jalur yang beda. Siapa tahu, pengalaman kamu di bengkel, di rumah, semua luka dan rasa marah itu... justru bisa bikin tulisanmu makin kuat. Makin jujur.”

Angin sore kembali berhembus. Suasana terasa hening tapi hangat. Satria menoleh ke Rania. Matanya masih sembab, tapi kali ini ada cahaya kecil di sana. Senyum tipis muncul di bibirnya.

“Makasih, Ran” ucapnya pelan.

Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Dan untuk pertama kalinya juga, hatinya terasa sedikit lebih lega.

---

Senyum di Hari-Hari Terakhir Kebersamaan

Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Meskipun masih murung, namun raut wajah Satria tak lagi segelap sebelumnya. Ada sorot baru di matanya—cahaya yang perlahan tumbuh, seolah memberi isyarat bahwa ia mulai bangkit. Ia mulai membuka diri, pelan namun pasti. Tak hanya pada Rania, tapi juga pada dunia di sekitarnya. Ia masih pendiam, namun senyum kecilnya mulai muncul di sela-sela kelas. Sesekali ia ikut berdiskusi, meski suaranya nyaris tak terdengar.

Waktu bergulir cepat. Kelas XII penuh dengan jadwal padat: magang industri, simulasi ujian, dan tugas akhir yang menyita tenaga. Hingga tanpa terasa waktu kelulusan pun tiba.

Suasana hening dan khidmat berubah menjadi riuh rendah sesaat setelah MC secara resmi menutup acara pelepasan siswa kelas XII SMK Nusantara. Murid-murid yang sedari tadi mengikuti acara dengan tertib, kini mulai beranjak dari tempat duduk, lalu menemui sirkel mereka masing-masing. Di tengah haru dan tawa, kenangan selama tiga tahun seolah diputar ulang dalam benak. Pelukan cepat, foto bareng dengan gaya konyol, dan tepukan di pundak jadi cara mereka mengucap perpisahan.

Rania hampir beranjak dari kursinya saat seseorang memanggil namanya dari belakang. Satria.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Satria menyodorkan sebuah buket mawar kuning—sederhana, tapi tulus. Di antara kelopak bunga itu, terselip selembar kartu kecil bernuansa jingga.

Untukmu yang membuka mataku,
Terima kasih.
Terkadang yang kita butuhkan bukan jawaban,
Melainkan cukup satu pandangan,
yang membuat kita terbebas dari pemikiran yang selama ini membelenggu.
Sampai jumpa di lembar kehidupan selanjutnya.

Di bawah tulisan itu, untuk pertama kalinya, sebuah nama tertulis jelas:
Satria Anindito.

"Ini indah banget, Sat…" kata Rania pelan, tapi penuh makna.

Satria mengangguk pelan, menyembunyikan senyum kecil di balik wajah yang sedikit memerah.

“Aku cuma… nggak mau ngilang begitu saja tanpa ngucapin terima kasih.” Sahutnya kemudian.
Beberapa teman sekelas yang mengamati dari kejauhan sontak bersiul menggoda.

“Wih, Satria akhirnya nembak juga!” celetuk Riko, sang ketua kelas, setengah bercanda.

“Bukan nembak, oi,” balas Damar, terkekeh. “Itu namanya… menghargai orang yang pernah ada buat lo.”
Rania hanya tertawa kecil, menunduk menahan malu, tapi tak kuasa menyembunyikan rasa hangat yang memenuhi dadanya.

Hari itu menjadi akhir yang hangat—dan awal bagi jalan hidup yang akan membawa mereka ke arah berbeda.

---

Bertumbuh di Jalur Masing-masing
Setelah lulus dari SMK, Rania dan Satria tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Satria—yang awalnya merasa ogah-ogahan—akhirnya mau tak mau mengambil alih pengelolaan bengkel setelah ayahnya terkena serangan stroke. Bengkel itu satu-satunya tumpuan hidup keluarga mereka, juga sumber biaya kuliah bagi kakak-kakaknya.

Sejak Satria mulai turun langsung mengelola bengkel, tempat itu terasa semakin hidup. Tak lagi sekadar ruang berdebu dan bau oli, tapi disulapnya menjadi tempat yang lebih nyaman dan profesional.

Pelanggan datang dengan berbagai keluhan, mulai dari mesin bubut yang perlu servis hingga komponen khusus untuk UKM, bahkan dari luar kota.

Di tengah kesibukan bengkel, Satria membuat gebrakan kecil: sebuah akun Instagram yang ia kelola sendiri. Isinya bukan sekadar promosi, tapi juga edukasi ringan seputar dunia permesinan—mulai dari tips menjaga performa mesin, tanda-tanda kalibrasi, hingga video interaksi di bengkel. Uniknya, di sela-sela konten teknis itu, sesekali muncul puisi atau kutipan reflektif tentang perjuangan hidup, bangkit dari keterpurukan, dan bertahan meski tak mudah.

Komentar dan pesan berdatangan. Beberapa netizen malah ikutan curhat, sementara yang lain sekadar menyapa atau memberi pujian. Followers-nya terus bertambah. Beberapa pelanggan baru datang dari luar kota setelah melihat kontennya—sederhana tapi jujur. Bahkan baru-baru ini, sebuah perusahaan oli mesin menghubunginya untuk kerja sama endorsement.
Demikianlah, antara mesin dan puisi, Satria menemukan caranya sendiri untuk bertumbuh.

---

Sementara itu, Rania melanjutkan kuliah di teknik industri—pilihan yang masih sejalur dengan jurusannya semasa SMK. Ketertarikannya pada sistem, cara kerja sesuatu, dan upaya mengoptimalkannya membawanya masuk ke dunia teknik.

Meski sibuk kuliah, Rania tetap setia pada hobinya: menulis. Ia rutin mengisi blog pribadinya, seolah menyeimbangkan dunia logika dan rasa. Ia tidak memilih salah satu, tapi berjalan di dua jalur sekaligus—dengan seimbang.

Komunikasi antara Satri dengan Rania kini jarang, sebatas balasan singkat di media sosial. Kadang Rania meninggalkan komentar atau ikon jempol pada unggahan Satria soal bengkel. Satria pun tak pernah absen memberi selamat saat Rania memposting kemenangannya dalam lomba menulis atau karya tulis ilmiah.

Mereka memang tak lagi sering bertemu, tapi eksistensi masing-masing tetap saling beririsan. Dukungan yang tak selalu terucap, tetap mengalir—diam-diam namun nyata.

---

Suatu Sore di Bengkel

Hari semakin sore, semburat jingga terlihat menembus celah-celah genteng yang berdesir tertiup angin. Usai semua karyawan meninggalkan bengkel, Satria membereskan alat-alat kerja dan menutup rolling door perlahan. Derit logam saling bergesekan, menandakan berakhirnya hari kerja.

Ia berjalan ke meja front office, melepas topi kerjanya dan menjatuhkan diri di kursi. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tangannya—entah kenapa—malas-malasan meraih ponsel di atas meja. Sekadar ingin scroll-scroll Instagram, mengisi jeda sebelum pulang.

Sebuah postingan dari akun sastra nasional lewat di berandanya.

Di bagian atas tertulis:
Pemenang Lomba Cerpen Tingkat Nasional.

Di bawahnya ada daftar pemenang:
Peringkat I: Rania Zaskia. Judul: “Surat-surat yang Tak Pernah Bernama”

Satria tercenung beberapa detik. Nama itu... judul itu...
Ia segera menelusuri profil panitia lomba, hingga menemukan sebuah carousel yang menampilkan potongan cerpen para pemenang.

Setiap slide ia baca dengan saksama. Paragraf demi paragraf mengantarkannya pada sebuah narasi yang begitu mirip dengan pengalamannya empat tahun lalu. Keningnya mengernyit. Ia tahu kisah siapa yang sedang diceritakan Rania. Dan mendadak, sebuah kerinduan tumbuh dalam dirinya.

Spontan, ia membuka WhatsApp dan mencari-cari nomor Rania di antara ribuan koleksi nomor yang dimilikinya.

Ketemu. Nomornya belum berubah. Jemarinya ragu, tapi tak lama kemudian mulai mengetik.

Satria: "Apa kabar, Rania? Masihkah kau ingat aku, Satria?"

Menit demi menit berlalu. Satria masih duduk di kursinya, termenung. Entah karena malas pulang atau... diam-diam berharap ada balasan? Ia bahkan tak sadar waktu sudah hampir Maghrib.

Tiba-tiba—Tringgg…

Suara notifikasi memecah kesunyian. Secepat kilat diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja.

Rania: "Kabar baik, tentu dong masih ingat. Nomormu juga masih aku simpan. Tumben WA, ada apa?"

Senyum kecil merekah di wajah Satria. Ternyata Rania masih seramah dulu. Tak ingin membuat Rania menunggu lama, ia langsung membalas.

Satria: "Jumat sore, jam 4. Kalau kamu ada waktu, ketemuan yuk di kafe Cerita Lama, yang di depan kampusmu."

Rania: "Tumben banget ngajak ketemuan, mau bahas apa?"

Satria: "Cuma mau ngobrol aja. Kan, lama kita nggak ketemu."

Lalu tiba-tiba terbersit rasa iseng, ia menambahkan, "Biar kamu bisa lanjutin kisah si tokoh di cerpenmu itu…"

Balasan dari Rania tak langsung masuk, tapi notifikasi “sedang mengetik...” terpampang cukup lama di layar ponsel Satria—seolah Rania tengah bingung merangkai kata. Begitu pesan Rania akhirnya masuk, Satria tersenyum kecil saat membacanya.

Rania: "…Jahat. Tersindir, tapi senang juga. wkwk..."

---

Bab Terakhir – Lembar Terakhir

Tepat pukul 16.05, Rania menjejakkan kaki di pintu kafe. Ruangan seluas kira-kira 200 meter persegi itu didominasi nuansa cokelat pastel yang hangat. Angin sore masuk leluasa melalui jendela-jendela besar, membawa aroma kopi ke setiap sudut. Lampu-lampu temaram menambah kesan nyaman dan intim.

Di pojok ruangan, seorang vokalis menyanyikan lagu-lagu pop anak muda dengan iringan musik lembut—mengisi sore itu dengan suasana romantis dan tenang.
Kafe sore itu cukup ramai—riuh pelan yang tak mengganggu keheningan. Suasana seolah menggantung, menanti sesuatu: mungkin pertemuan yang akan menjadi awal dari kisah yang baik.

Rania mengedarkan pandangan, mencari wajah yang mirip dengan foto profil Instagram Satria. Tak lama, matanya menangkap sosok itu. Satria duduk seorang diri di meja dekat jendela kanan. Penampilannya simpel tapi berkarisma: sweater crew neck hijau army dan jeans biru laut. Rambut hitamnya tersisir rapi belah tengah—cocok dengan gayanya yang kalem tapi memikat.

Satria sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Tatapannya menerobos kaca jendela, mengarah pada taman hijau di luar yang dihiasi kuncup-kuncup mawar yang menunggu mekar.

Rania tetap berdiri di tempatnya-menunggu. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan itu. Jantungnya berdegup lebih cepat, sosok yang selama ini hanya ada dalam imajinasi, ternyata jauh lebih memesona dalam kenyataan.

Tak lama kemudian Satria menurunkan ponselnya, menyudahi pembicaraan.

Rania mulai melangkah pelan mendekat ke mejanya.
“Satria,” sapanya pelan namun cukup jelas.

Satria mendongakkan kepala. Sejenak ia terdiam, terpaku melihat seorang gadis berdiri di seberang mejanya. Dalam balutan gamis panjang warna biru muda, Rania tampak begitu anggun mempesona. Hijab berwarna senada tetapi dengan tone lebih terang membingkai wajahnya yang bersih dan cerah, dihiasi senyum tipis nan hangat.

Waktu seakan berhenti. Hanya ada tatapan dua pasang mata yang saling mengenali, saling kagum dalam diam.

Seakan tersadar, Satria segera berdiri. Dengan sedikit gugup, ia menyilakan Rania duduk.

"Eh, maaf... aku nggak lihat kamu udah datang. Mari, silakan duduk.”

Rania tersenyum, berusaha menguasai diri. Dengan tenang, ia duduk dan menaruh tas berisi perlengkapan wisuda di kursi sebelah.

“Maaf aku telat,” ucapnya. “Tadi aku ikut gladi bersih untuk acara wisuda besok—ternyata selesai agak molor."

Satria mengangguk, senyumnya mengembang. “Nggak apa-apa. Aku juga baru aja datang kok.”

Rania menghela napas kecil. Pandangannya kini tak seberapa gugup. Ia mulai merasa lebih rileks.

“BTW, selamat ya! Bengkel dan akun IG kamu sekarang jadi terkenal. Aku lihat followers-mu makin banyak. Bengkel mesinmu juga nggak main-main sekarang.”
Satria tertawa kecil, matanya ikut menyipit.

“Makasih. Aku juga nggak nyangka bisa sejauh ini.”

“Keren sih, Sat. Serius. Gimana bisa berkembang pesat begitu?"

"Satria mencondongkan tubuh ke depan. Dengan kedua tangan terlipat di atas meja, ia mulai bercerita.

“Tahu kan, dulu aku males-malesan di SMK. Nah, begitu bantu di bengkel, langsung deh terasa banyak hal yang belum ku kuasai. Akhirnya, di tahun kedua aku daftar kuliah di teknik mesin. Harapanku, ilmu permesinan yang kupelajari di kampus, bisa lebih memudahkanku mengembangkan bengkel dan memimpin tim kerja dengan lebih efisien."

Rania membelalakkan mata, terkejut dan kagum.
“Serius, kamu kuliah? Nggak nyangka sama sekali. Dulu kan, kamu ogah banget sama yang namanya mesin.”

Satria sempat manyun, merasa disindir, tapi akhirnya ikut tertawa juga.

“Iya, aku tahu. Aku harus mengejar ketertinggalan waktu di SMK dulu. Nggak cukup dong, kalau cuma ngandelin pengalaman di bengkel aja."
Ia menghela napas lalu menatap Rania dengan senyum tipis.

"Lucu juga ya, hal yang dulu aku benci, sekarang bisa berubah jadi bagian hidup yang paling aku nikmati. Kesuksesan itu ternyata nggak melulu soal bakat, tapi soal kemauan buat berubah.”

Rania mengangguk mantap, sorot matanya serius tapi hangat.

“Tapi langkahmu udah bener lho, Sat. Kenyataannya, kamu bisa sesukses ini. Hobimu menulis ternyata bantu kamu bikin konten yang terstruktur dan sangat menarik netizen. Sementara ilmu yang kamu dapetin di perkuliahan dan pengalamanmu terjun langsung di bengkel, bikin ulasanmu terasa mantab dan sangat bermanfaat bagi banyak orang. Wow, hebat kamu, Sat.”
Satria terdiam beberapa detik, menatap Rania dalam-dalam. Senyumnya perlahan merekah, tulus.

“Makasih, Ran. Dengar kamu ngomong gitu... rasanya semua kerja keras selama ini jadi nggak sia-sia. Kamu selalu punya cara bikin aku merasa dihargai. Padahal dulu, aku sempat mikir... siapa juga yang bakal percaya aku bisa?”

Rania menatapnya lekat, lalu tersenyum kecil. “Aku percaya. Dari dulu.”

Keduanya terdiam beberapa saat, tapi semesta tahu: ada rasa yang saling terhubung.

Seorang pramusaji datang membawa nampan berisi dua gelas kopi dan beberapa piring kecil camilan. Dengan senyum sopan, ia meletakkan pesanan di atas meja. Rania dan Satria hanya mengangguk singkat sambil mengucap terimakasih, lalu kembali larut dalam diam.

Satria memberi isyarat halus, mempersilakan Rania mencicipi hida ngan.Sambil mengambil camilan, ia meneruskan pembicaraan.

“Aku juga bangga sama kamu, Ran. Lulus sebagai mahasiswa terbaik. Gokil, sih.”

Rania merona, sedikit tersipu.
“Ah, enggak gitu juga. Kewajiban kita cuma berdoa dan menyempurnakan ikhtiar. Masalah hasil... itu urusan Allah. Dia Maha Tahu yang terbaik buat kita.”

Satria mengangguk pelan. “Setuju. Terus, rencananya setelah ini mau ke mana?”

Rania menatap permukaan kopinya yang mulai mendingin. Ada jeda, seolah sedang menimbang sesuatu. Lalu suaranya keluar—pelan, tapi mantap.
“Nah, itu dia... Aku lagi bingung. Sebenarnya aku dapat tawaran kerja full time dari tempat magang dulu—perusahaan besar, multinasional, dan bidangnya sesuai banget sama aku. Tapi kemarin aku dapat kabar kalau lolos beasiswa S2 ke Jepang. Itu impian aku dari dulu—memperdalam riset dan belajar teknologi di sana.”

Satria terdiam. Ia menarik napas pelan, tatapannya menerawang jauh. Ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tak terlontarkan. Ada sedikit rasa sedih yang mengalir di dadanya. Sebagian dirinya ingin berkata:

Jangan pergi... Tetaplah di sini. Aku ingin pertemuan seperti ini nggak cuma sekali.”

Tapi ia tahu, perasaan tak bisa menjadi penghalang bagi langkah seseorang yang sedang mengejar cita-cita.

“Apa pun yang kamu pilih, aku yakin itu pilihan yang tepat buat kamu,” ucap Satria akhirnya, tulus.

Rania hanya mengangguk. Tapi di dalam hatinya, ia menangkap—ada yang ingin diungkapkan Satria, tapi tertahan di ujung kata.

"Ayolah, Sat... katakan sesuatu. Bisiknya dalam hati."
Entah kenapa, jauh di dalam dirinya, ia ingin Satria menahannya. Tapi ia cepat-cepat menepis angan itu.

"Kamu ini kenapa, Ran... berharap sesuatu yang lebih?"
Rania menggeleng pelan, mencoba menepis pikirannya yang mulai ngelantur. Bagaimanapun juga, ia tak bisa mengelak—dirinya mulai mengagumi sosok di depannya, yang kini tampak lebih dewasa dan bijak.

Satria rupanya memergoki tatapan itu. Ia tersenyum kecil, menaikkan sebelah alis. “Kenapa, Ran? Ada yang aneh?” godanya.

Rania terkesiap, buru-buru menyesap kopi.
“Enggak.., cuma kayaknya kamu sekarang lebih peka, ya? Jago baca situasi.”

Satria tertawa kecil, matanya berbinar.
“Mungkin karena hidup ngajarin banyak hal. Termasuk... mengingat orang-orang yang pernah berjasa, meski nggak pernah minta diingat.”

Rania tergelak. “Wah, bijaknya. Efek kuliah atau efek ngelola bengkel, nih?”

Satria pura-pura berpikir lalu menggoda Rania, “Mungkin dua-duanya. Tapi jujur, sebagian besar karena ketemu kamu.”

Rania tersipu malu. Tapi senyum itu tinggal lebih lama di bibirnya.

Senja perlahan menurunkan langit ke peraduan. Rania menatap ke luar jendela, sementara Satria kembali menyeruput kopinya pelan-pelan, seolah ingin memperlambat waktu.

Dua sahabat lama, yang kini bukan hanya tumbuh… tapi juga telah menemukan jalan masing-masing—dengan rasa syukur, dan sedikit cerita yang belum selesai.

Entahlah… apakah akan ada kisah setelah ini—tentang mereka?

Mungkin saja,
Atau mungkin tidak.

Tapi untuk saat ini, cukuplah tawa ringan dan sore yang hangat jadi penutup yang manis—bagi dua hati yang pernah tumbuh dalam diam, lalu saling menyapa kembali. Tanpa harus buru-buru memberi nama pada segalanya.

Di sudut kafe, suara vokalis perlahan menyanyikan bait terakhir sebuah lagu yang terasa begitu dekat bagi keduanya:
"Dan sebenarnya aku tak diam,
Seraya perhatikan jejak langkahmu.
Walau terlihat diriku,
Tak ada di dekatmu.
Semakin kau indah,
Memperjelas setiap kelemahanku.
Walau kau berharga,
Sekarang bukan untuk berdua..."
(Cinta dalam Diam – Ariel & Difki Chalif)

--- TAMAT ---

Posting Komentar

0 Komentar