6/recent/ticker-posts

Pintu 13 Tidak Pernah Terbuk

Pintu 13 Tidak Pernah Terbuka
Oleh: Haya Nur Fadhilah

Siapa yang tahu ke mana arah jalan,
ketika cahaya terang berubah menjadi berkabut.
Langkah kami menyatu, datang dari segala penjuru,
menembus keramaian yang mengubah sorak dan nyanyian menjadi teriakan, kengerian.
Kami tak pernah benar-benar tahu ke mana arus membawa kami,
hanya berharap
masih ada pintu yang terbuka untuk pulang.

Kepanjen, Sabtu, 1 Oktober 2022 pukul 17.20 WIB

Langit sore Malang begitu jernih, seolah tak ingin mengganggu euforia ribuan jiwa yang bersiap menuju stadion. Awan tipis melayang pelan di atas perbukitan Kepanjen. Angin bertiup sepoi, membawa aroma gorengan dari warung tenda dan semangat yang menggantung di udara.

Kami berempat: aku Ardi, bersama ketiga karibku yaitu Reyhan, Dika, dan Bagus, sedang berada di Malang untuk kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Proposal kami yang bertema “Stadion dan Warga: Studi Interaksi Sosial dan Budaya Lokal di Sekitar Stadion Kanjuruhan” telah lolos pendanaan kampus dan kini memasuki tahap observasi lapangan.

Reyhan adalah satu-satunya dari kami yang berasal dari Malang. Ia seorang Aremania sejati, tumbuh besar di Kelurahan Kedungpedaringan, Kecamatan Kepanjen, hanya sekitar 500 meter dari Stadion Kanjuruhan. Rumah orang tuanya menjadi tempat kami menginap sekaligus pos pengamatan utama.

Dika berasal dari Jember. Ia adalah gelandang tengah andalan tim kampus: tenang, tajam, dan lihai membaca alur permainan. Strateginya kerap mengantar timnya pulang sebagai pemenang.

Bagus berasal dari Jogja. Ia bukan pemain, tetapi paling fanatik menonton bola. Suaranya paling lantang saat menjadi komentator dadakan. Bahkan pertandingan yang membosankan pun terasa hidup di bawah komentarnya.

Sedangkan aku datang dari Solo. Sejujurnya, aku baru menyukai sepak bola karena mereka. Aku lebih betah menatap layar laptop, tenggelam dalam analisis data, ketimbang duduk menyimak 90 menit laga. Namun hari ini berbeda. Aku ingin melihat langsung denyut kehidupan yang selama ini hanya kutulis lewat angka-angka.

Maka ketika tahu malam ini akan digelar derby klasik Arema melawan Persebaya, kami sepakat menontonnya langsung. Bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai bagian dari dokumentasi hidup yang tak akan kami dapat dari balik jurnal atau data statistik.
Setelah saling bersiap di rumah Reyhan, kami berjalan kaki menyusuri gang kecil. Langit mulai keemasan. Arus manusia perlahan memenuhi jalanan, sebagian berselimutkan warna biru kebanggaan.

Syal Aremania melingkar di leher kami. Di tangan, beberapa membawa botol air mineral dan bendera kecil. Raut wajah kami penuh harap.

Di sebuah tikungan kecil, Dika menyikut lengan Bagus sambil menyuap tempe mendoan dari warung depan gang.

“Gasik banget, Gus. Padahal kick-off jam delapan.”
“Lah, ini kan derby sarat gengsi, bro. Arema lawan Persebaya. Gak boleh telat dapet spot!” sahut Bagus penuh semangat. Rambut keritingnya bergoyang karena langkah cepat.

Aku hanya tertawa.

“Bayangno, nek Arema menang, traktiran ya, Rey?” kata Dika, menepuk bahu Reyhan.

Reyhan, yang baru saja putus cinta, hari itu tampak lebih ceria. “Tak traktir wedang ronde, asal Arema ngegas sejak menit awal!” jawabnya, tertawa lepas.

Langkah kami menyatu dalam gelombang biru: tua-muda, anak-anak hingga kakek-nenek. Semuanya menuju satu titik: Stadion Kanjuruhan, rumah kebanggaan mereka, yang untuk sesaat terasa juga milik kami.

Sekilas aku melirik G-Shock di pergelangan tangan kanan. 17.28. Dari kejauhan, azan Magrib mulai berkumandang. Suaranya menembus riuh jalanan, menyentuh sesuatu di dalam dada. “Bro, kita mampir salat dulu yuk,” kataku pada Reyhan.

Bagus sempat membuka mulut, hendak protes, tapi Reyhan menimpali cepat, “Gas. Masjid Darussalam cuma dua gang dari sini.”

Kami belok ke gang kecil, lalu bergantian wudhu di keran luar. Suasana di dalam masjid tenang, kontras dengan hiruk-pikuk di luar. Usai salat Magrib berjamaah, kami kembali menyusuri jalan yang mulai padat.

Lampu-lampu stadion menyala dari kejauhan, mencuat ke langit malam yang turun perlahan, membentuk siluet biru yang samar namun megah. Di barat, semburat oranye terakhir masih memantul di kaca-kaca toko kecil. Para pedagang sibuk: menjajakan nasi jagung, kaus Arema, topi plastik kepala singa.

---

Stadion Kanjuruhan, Sabtu, 1 Oktober 2022 pukul 18.10 WIB

Sekitar pukul 18.10 WIB, kami tiba di pintu Tribun 13. Setelah pemeriksaan tiket dan tubuh oleh petugas, kami naik ke tribun ekonomi selatan, tepat di atas pagar besi pembatas lapangan. Inilah spot klasik Aremania. Stadion terasa terang benderang; empat tiang lampu sorot menyinari lapangan seperti permadani hijau yang sempurna.

Syal dikibarkan, lagu-lagu bergema, drum dan terompet bersahutan. Gelombang biru tumpah ruah.

Kami mendapat tempat duduk berjajar berlima di barisan tengah. Sebelum benar-benar duduk, tiba-tiba Reyhan nyeletuk, “Fotbar dulu, bro. Buat kenang-kenangan. Pakai HP-mu ya, Ar?” katanya sambil menoleh padaku.

Untungnya, seorang penonton di barisan depan bersedia membantu memfoto-kan kami.

Saat menerima kembali HP, sekilas aku mengamati hasil fotbar kami. Estetik sekali: cahaya lampu, senyum kami yang lebar, dan lautan biru di belakang menjadi latar yang nyaris sempurna. Tapi entah mengapa, dadaku terasa tercekat. Ada sedih yang tiba-tiba muncul, seperti firasat samar yang tak bisa kujelaskan.

Stadion Kanjuruhan sebenarnya berkapasitas sekitar 38.000 penonton. Namun malam itu, jumlah yang hadir sepertinya melebihi 42.000 orang. Di beberapa sudut tribun, terutama ekonomi selatan tempat kami berada, nyaris tak ada ruang tersisa. Banyak yang duduk di tangga, sebagian berdiri di lorong sempit. Petugas tampak kerepotan menenangkan gelombang suporter yang terus berdatangan meski tribun sudah penuh.

Tapi euforia menutupi semua rasa sempit itu.
Di tengah lapangan, para pemain dari kedua tim telah lebih dulu keluar untuk pemanasan. Arema mengenakan jersey biru laut dengan lis putih di kerah dan lengan. Persebaya datang dengan hijau khas Surabaya, terang dan mencolok. Kiper mereka tampil dengan warna kontras: satu merah marun, satu lagi kuning terang. Mereka saling bersahutan menendang bola, mengangkat lutut, dan menyapa tribun.

"Wasitnya siapa, bro?" tanya Dika sambil mengusap kameranya.

"Yudi Nurcahya, dari Jakarta," jawab Bagus, si penghafal data pertandingan. "Senior, tapi sering kena sorotan juga."

Reyhan tertawa. "Lah, semoga malam ini dia netral."
Menjelang pukul 19.45 WIB, suasana kian menegang. Pemanasan selesai, dan seluruh pemain telah kembali ke ruang ganti. Kami melihat wajah-wajah mereka muncul lagi di layar besar stadion, kali ini sudah berbaris di lorong sempit, menunggu giliran masuk lapangan. Kamera menyorot satu per satu ekspresi penuh tekanan. Lampu sorot sesekali digerakkan, menciptakan siluet panjang di atas lapangan. Semua terasa megah, dan entah kenapa, sedikit asing.

Lagu kebanggaan Arema, Salam Satu Jiwa, dikumandangkan ribuan suara, menggema hingga langit. Kami ikut menyanyikannya, tangan saling menggenggam, dada bergetar.

Dan saat wasit meniup peluit pertama, semuanya serentak meledak dalam sorak, tepuk tangan, dan harapan.

---

Stadion Kanjuruhan, Sabtu, 1 Oktober 2022 pukul 21.57 WIB

Arema kalah: dua gol berbalas tiga.

Kami tetap bersorak, mencoba menghibur diri. Tapi kekalahan derby malam itu menyisakan getir yang tak biasa.

Bagi Aremania, skor akhir itu bukan sekadar angka. Malam itu, Persebaya mematahkan kutukan yang bertahan selama 23 tahun. Sejak 1999, mereka tak pernah menang di kandang Arema, baik di Stadion Gajayana maupun Stadion Kanjuruhan. Dan kini, rekor itu pecah… di hadapan puluhan ribu mata, di rumah sendiri.

Di tribun, semangat mulai luruh. Wajah-wajah yang tadi menyala kini tampak lesu. Diam, dan nyaris pasrah. Tapi belum ada yang menyangka apa yang akan terjadi kemudian.

Beberapa menit setelah peluit akhir, atmosfer berubah cepat. Sejumlah suporter turun dari tribun dan melompati pagar pembatas lapangan. Lalu jumlahnya bertambah, puluhan, mungkin ratusan. Sebagian hanya ingin menyalurkan kecewa, sebagian lain karena terbawa gelombang emosi.

Petugas tampak gelisah. Beberapa berlari ke tengah lapangan, sisanya berjaga di sisi pagar. Tiba-tiba, terdengar letupan keras, lalu semburan putih menyembur ke udara. Gas air mata. Satu... dua... tiga titik.

Awalnya diarahkan ke area lapangan, tapi dengan cepat, asap-asap itu mulai ditembakkan ke tribun penonton. Bahkan ke arah tribun selatan, tempat kami duduk. Tribun yang sejak awal tidak turun ke lapangan.
“Eh, itu... gas?!” teriak Bagus, menunjuk ke arah bawah. Matanya membelalak.

Semburan putih itu menari seperti kabut neraka, menggulung dari lorong bawah tribun, melesat cepat seperti asap pabrik yang meledak.

Perih.

Astaghfirullah... itu ke tribun! Itu ke atas, bukan ke lapangan! seru Reyhan panik, sambil menutup hidung dan mulut dengan syal.

Aku ikut terbatuk. Mataku mulai panas. Tanganku refleks mengusap wajah, tapi sia-sia. Sekeliling kami mulai kacau. Orang-orang berteriak, berdiri, berdesakan, bingung hendak lari ke mana.

Gas sudah mencapai tempat kami duduk. Tersedak, tercekik, seperti dijerat asap tak kasatmata. Anak-anak menangis. Seorang bapak menggendong anaknya sambil berteriak, “Buka jalan! Buka jalan, tolong!”
“Kenapa ke tribun? Kita nggak rusuh!” teriakku, setengah marah, setengah tak percaya.

Tapi tak ada jawaban. Yang ada hanya jeritan dan langkah-langkah yang semakin tak terarah. Stadion berubah dari arena sepak bola menjadi lorong kepanikan.

“Cepat turun! Arah pintu!” pekikku. Tapi semua sudah berlari. Napas kami tercekik. Mataku panas. Tanganku mencari-cari bahu teman.

“BAGUS! DIKA!” Aku berteriak sekuat-kuatnya, suaraku tercekat di antara jeritan dan batuk yang tersengal karena gas.

Kami tergopoh menuju pintu keluar. Tapi arus manusia datang dari segala arah. Orang-orang dari tribun samping dan atas juga turun, berlarian ke arah Pintu 13, jalur utama tribun selatan yang paling dekat dengan lapangan. Entah siapa yang lebih dulu menuju ke sana. Tapi dalam kondisi panik, semua hanya ingin satu hal: keluar.

Di tengah kekacauan itu, aku melihat seorang bocah kecil terjatuh di tangga depan. Ia tergelincir dan terduduk lemas, menangis keras sambil memanggil bapaknya. Tubuhnya nyaris terinjak di antara langkah-langkah panik.

Tanpa pikir panjang, aku menerobos arus dan mengangkat tubuh kecil itu ke pelukanku.

"Tenang, Dek... Pegangan, ya..." bisikku sambil menggenggam tubuhnya erat-erat.

Aku melindunginya dengan dada, memastikan tubuh kecilnya tak terhimpit kerumunan. Tubuhku terombang di antara gelombang manusia, tapi aku terus melangkah maju, mencari celah keluar.

Tiba-tiba, dari sudut mataku, aku melihat Reyhan. Ia terpeleset dan jatuh, tangannya terjulur, tubuhnya menghilang di antara kaki-kaki yang panik.

“Reyhan!”

Sekuat tenaga kuulurkan tangan ke arahnya. Tapi arus terlalu kuat. Dorongan dari belakang menekanku keras. Aku tak sanggup maju. Tubuhku terseret ke belakang. Kacamataku terlepas, menghilang entah ke mana. Pandanganku kabur.

Tangan Reyhan tak pernah sempat kuraih. Ia menghilang dari pandangan, tertelan lautan manusia.
Aku terus terdorong, terhimpit, sambil tetap menggendong bocah itu erat-erat. Suaranya terisak di dadaku. Napasku nyaris habis.

Hingga akhirnya, aku berhasil menembus celah keluar. Napasku memburu. Di belakangku, jeritan dan batuk-batuk masih terdengar.

Aku dan bocah itu berhasil keluar.
Tapi Reyhan tertelan lautan manusia.
Begitu pula Bagus.
Dan Dika.
Malam itu, hanya aku yang kembali.

---

Kanjuruhan, Selasa, 1 Oktober 2024 pukul 16.00 WIB

Dua tahun telah berlalu. Waktu yang cukup panjang untuk mencoba memulihkan diri dari trauma yang tak kunjung pergi. Rasa bersalah itu tetap tinggal, karena hanya aku yang kembali, sementara tiga sahabatku tidak.

Hari ini, kuberanikan diriku kembali ke Malang, ke rumah Reyhan. Ibunya mengenaliku. Senyumnya menyambutku, tetapi sorot matanya mengandung duka yang belum reda. Saat berpamitan, ia memberiku syal biru milik Reyhan.

Sore itu, aku berjalan sendiri menuju stadion. Jalan itu masih sama: warung gorengan, lapak kaus, semuanya sudah kembali buka. Namun semuanya bisu. Aku berdiri di depan gerbang biru itu. Pintu 13.

Catnya mengelupas. Besinya mulai berkarat. Di bawahnya, lilin-lilin kecil yang telah kering.

Pintu 13 tak pernah terbuka malam itu.
Malam ketika gas ditembakkan ke arah yang salah.
Malam ketika suara-suara tercekik.
Malam ketika teman-temanku tak kembali.
Malam ketika keadilan ikut mati.

Pintu 13 bukan sekadar logam tua.
Ia menyimpan nama-nama yang tak sempat pulang:
Bagus, komentator paling nyaring yang kini diam.
Dika, gelandang tenang yang peka arah.
Reyhan, sahabat hangat yang selalu membuka pintu.

Mereka tak sempat pulang.
Dan pintu itu masih berdiri—membisu, menunggu negara bicara.
Beberapa luka tak perlu diperbaiki. Cukup diingat.

--- Tamat ---

Disclaimer: Cerpen ini merupakan karya fiksi yang terinspirasi dari peristiwa nyata Tragedi Kanjuruhan 2022. Seluruh tokoh, dialog, dan alur merupakan hasil rekaan penulis. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, atau kejadian, hal tersebut semata-mata kebetulan dan tidak dimaksudkan untuk menyinggung pihak mana pun. Cerita ini ditulis sebagai bentuk empati dan pengingat atas pentingnya keselamatan, kemanusiaan, dan keadilan.

Posting Komentar

0 Komentar