Oleh: Binti Zulfa
Hari sudah beranjak malam, tirai jendela juga telah ditutup sepenuhnya. Menyembunyikan dunia luar yang sejuk dan kelam. Tapi hal itu tidak membuat Nala beranjak dari ruang lukis peninggalan sang ayah. Di atas pangkuannya, terdapat sebuah kanvas kecil yang baru saja ia selesaikan lukisannya. Warnanya lembut, perpaduan jingga dan biru laut yang bersatu bagaikan senja, serta sebuah jalan sempit di tepi pantai.
Nala memandangi karya seni itu dengan saksama. Walaupun bukan karya seni yang sempurna, namun kaya akan emosi. Ada sesuatu yang bergerak di sana. Sebuah kendaraan kecil, mirip dengan yang ia naiki dengan ayahnya pada hari itu. Hari saat mereka akan berangkat ke pameran seni di kota. Hari ketika segalanya mulai berubah.
Dengan semangat yang rapuh tapi nyata, ia menggenggam rodanya, lalu mendorong perlahan menuju kamar sang ibunda. Ia berhenti di depan pintu kayu tua, menatapnya lama, lalu mengangkat tangan dengan ragu. Separuh ingin mengetuk, separuh ingin mundur. Sebelum jemarinya menyentuh, daun pintu itu terbuka. Anara berdiri dengan wajah datar, tak terbaca.
“Bunda...” panggil Nala dengan lirih.
Ia menyodorkan lukisan itu. “Nala melukis lagi...”
Anara melirik kanvas itu sejenak, kemudian mengeluarkan napas berat. Tanpa berbicara, ia mengambil lukisan itu, melemparkannya, dan menginjaknya. “Nala pikir melukis bisa mengembalikan apa? Ayahmu?” suaranya pelan, tapi tajam.
Napas Nala tercekat. Tapi ini bukan pertama kalinya Anara menginjak lukisannya setelah kepergian sang ayah. Dan bukan pertama kalinya pula, ucapan Anara mematahkan harapan dan semangatnya yang baru akan mulai tumbuh.
“Melukis membuatmu memaksa ke sana hari itu. Melukis yang membunuh ayahmu. Dan kamu... kamu masih berani melukis?” Anara menatapnya dingin.
“Tolong, Nala. Bunuh mimpimu, seperti melukis telah membunuh ayahmu.” Setelah mengucapkan itu, Anara melangkah pergi.
Nala terdiam. Tidak menangis, tapi tubuhnya gemetar. Dengan susah payah, ia meraih kembali lukisannya. Warnanya sedikit pudar, pinggirannya robek, catnya kotor. Tapi anehnya, lukisan itu seolah berbicara padanya. Bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Keesokan paginya, Nala duduk diam di kursi roda, memandangi luasnya hamparan pasir dari balik jendela kaca ruang lukis peninggalan sang ayah. Jemarinya yang kurus meremas gaunnya dengan kuat, napasnya terhembus panjang dan berat, seolah berjuang untuk menahan gelombang rasa sakit yang terus menerjangnya dari dalam.
Sudah setahun lamanya sejak kecelakaan lalu lintas yang tak hanya mengambil nyawa ayah dan kedua kakinya, tetapi juga mengambil sosok ibu yang dulunya menjadi tempatnya kembali. Sosok yang dulu merangkul dengan hangat setelah ia selesai melukis, namun kini enggan memandang hasil karyanya. Nala merasa kosong. Dia kehilangan kaki, keluarga, dan hal terpenting dalam hidupnya yang selama ini menjadi alasan untuk tetap tersenyum seperti waktu itu.
Waktu dimana Nala berulang kali menatap hasil lukisannya yang akan ia pajang dalam pameran seni pertamanya. Wajahnya bersinar penuh semangat, dan ayahnya sesekali melirik ke arahnya untuk menikmati ekspresi bahagia sang putri. Namun, senyum itu menjadi senyum bahagia terakhir yang mereka bagi. Dari arah depan, suara klakson mobil kontainer melolong panjang, disusul hantaman keras yang menabrak mobil mereka dengan kecepatan penuh. Dalam sekejap, suara klakson panjang itu berubah menjadi tabrakan maut yang mengubah kehidupannya.
Ketukan lembut di jendela kaca membangunkannya dari lamunan panjang. Aruna, sahabatnya, berdiri di luar sana dengan senyum dan tangan yang melambai untuk menyapanya seperti dulu. Seolah tidak ada yang berubah. Tanpa membalas senyuman itu, ia segera menarik tirai sampai menutupi seluruh pandangan. Bukan karena rasa malu, melainkan karena rasa takut. Setiap orang menyalahkannya, dan ia takut Aruna akan menjadi salah satunya. Sosok terakhir yang mungkin masih bisa ia percayai, bisa saja berubah menjadi cermin luka yang lain.
Nala memutar tubuhnya pelan dengan kursi roda, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang. Pandangannya jatuh pada lukisan lama yang tergantung di dinding. Lukisan dirinya yang tengah tertawa lepas, hasil coretan tangan Aruna dan ayahnya yang dulu begitu hangat membimbing.
Dulu, lukisan itu membuatnya merasa dicintai. Namun sekarang, lukisan itu terasa seperti ejekan, tentang masa lalu yang tidak akan pernah kembali. Dengan tangan gemetar, Nala meraih kuas bekas tangan sang ayah di dekatnya. Ia membuka botol cat hitam, jari-jarinya bergetar saat menuangkan sejumput cat itu ke palet. Ia melihat lukisan itu untuk terakhir kalinya, lalu mengoleskan cat hitam pada bagian senyumnya. Pelan, senyum itu pudar, terhapus oleh kegelapan yang mendalam. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya mengalir, membasahi pipinya tanpa mengeluarkan suara.
Suara ketukan kaca kembali terdengar. “Nala”, suara itu memanggil, tenang tapi penuh kehangatan yang sulit untuk diabaikan. “Aku tahu kamu masih di sana. Aku tidak akan pergi, Nala. Tidak peduli semua orang menyalahkanmu. Aku akan selalu bersamamu.”
Nala terdiam. Tangan kanannya masih menggenggam kuas dengan erat, hingga jemarinya memucat. Ia menunduk, mencoba menahan air mata yang nyaris tumpah lagi. Sedikit demi sedikit, kata-kata Aruna masuk melalui celah hatinya yang bagai tembok retak dan tak bisa ia tutup.
“Nala”, suara Aruna kembali terdengar. “Namaku, kamu ingat kan? Dalam bahasa Sansekerta, Aruna artinya fajar. Meski bukan cahaya terang, tapi aku ingin menjadi cahaya dalam gelapmu. Pelan-pelan, tapi pasti.”
Dengan pelan, Nala menggerakkan roda kursi dorongnya menuju jendela. Tangan kirinya yang gemetar menarik tirai dengan perlahan. Cukup untuk melihat Aruna yang berdiri tegak dengan senyum tulus dan penuh janji. Tatapan mereka bertemu. Mata Nala merah dan lelah, seperti laut yang kehilangan pantai. Tapi di sana... ada secercah harapan. Sekecil apapun, tetap nyata.
Aruna tersenyum mengangkat sesuatu ke arah kaca, sebuah kuas dan papan lukis kecil. “Melukis bareng lagi yuk? Aku bawa kuas. Kalau kamu nggak mau keluar, aku tetap bisa temenin kamu dari sini.”
Nala menggeser tirai sedikit lebih lebar. Ia dengan hati-hati memutar kursi rodanya, bergerak menuju rak yang terletak di sudut ruangan. Di situ, peralatan lukisnya tersusun dengan rapi, bersama beberapa karya lukisnya yang cacat. Ia mengamati sejenak, kemudian mengambil kuas dan beberapa cat dengan perlahan, seakan menyentuh bagian dari dirinya yang terkubur bersama jasad sang ayah. Dengan perasaan campur aduk, Nala kembali ke jendela, membawa peralatan itu di pangkuannya.
Mereka duduk berseberangan, hanya dipisahkan oleh kaca, namun terasa seperti di dalam ruang yang sama.
“Ayo kita lukis yang lagi Nala rasain! Bukan yang ingin orang lain lihat.” kata Aruna sambil menuangkan cat ke atas palet.
Nala tidak langsung menjawab. Tapi ia mulai menuangkan catnya, menggerakkan tangannya yang masih kaku untuk menari di atas kanvas. Satu jam mereka melukis tanpa banyak bicara. Hanya sesekali saling mengangkat kanvas dan saling senyum. Nala merasa jantungnya berdetak lagi, bukan karena luka, tapi karena harapan yang mulai tumbuh lagi dan lagi.
Ia menatap lukisannya. Di atas kanvas, sosok bersayap duduk dengan kepala tertunduk dalam kegelapan gua. Sayapnya robek dan berdarah, warnanya tajam dan menyakitkan. Tapi di atas sosok itu, ada cahaya kecil menyusup dari celah kecil di atas, secercah cahaya turun menyusup. Tidak terang, tapi cukup untuk memperlihatkan bahwa ia masih hidup.
Aruna memperhatikan dari balik jendela kaca. “Itu kamu, ya?” tanyanya pelan.
Nala tidak menjawab, tapi matanya mengiyakan. Ia menyentuh bagian cahaya itu dengan ujung kuas, menambahkan sedikit warna kuning hangat, lalu tersenyum kecil. “Mungkin juga ada kamu. Jadi cahaya kecilnya.”
Aruna terdiam. Lalu ia mengangkat kanvasnya, memperlihatkan lukisannya sendiri. Sosok kecil yang berdiri di depan gua, menatap ke dalam, sambil memegang lentera. Nala menatap lama lukisan itu. Matanya berkaca, tapi kali ini bukan karena luka. Ada sesuatu yang tumbuh di dadanya.
“Aku ingin menunjukkannya pada bunda.” Dengan napas dalam dan tangan gemetar, Nala mengambil hasil lukisannya, meletakkannya hati-hati di pangkuan, lalu mulai mendorong kursi rodanya ke luar ruangan. Roda berdecit pelan saat melewati lantai marmer yang dingin, menuju lorong yang membawanya ke kamar Anara.
Ia berhenti di depan pintu kayu tua. Jemarinya sempat terangkat untuk mengetuk, tapi seperti biasa... ragu itu datang. Tapi kali ini, Nala tidak mundur. Ia mengetuk, perlahan. Sekali. Dua kali.
Pintu terbuka. Anara berdiri menatapnya dengan datar seperti biasa. Mata mereka bertemu sejenak.
“Bunda...” Suara Nala nyaris berbisik. “Nala melukis lagi.” Ia mengangkat lukisan itu perlahan, menunjukkan tanpa banyak kata.
Anara menatap kanvas itu lebih lama dari yang Nala bayangkan. Tidak ada kata. Hanya diam. Tapi tidak ada cemooh, juga tidak ada amarah. Hanya keheningan yang menggantung di antara mereka.
“Ini... tentang aku,” lanjut Nala. “Tentang rasa sakitku. Tentang kehilangan ayah. Juga tentang... seseorang yang nyalain cahaya kecil di hidupku lagi.”
Anara masih diam. Tapi kali ini, matanya bergerak menelusuri detail lukisan. Sayap yang patah, darah yang menetes, dan cahaya kecil di tengah kegelapan. Lukisan itu seolah menjadi cermin dari rasa sakitnya sendiri yang selama ini ia simpan. Semua lukisan yang Nala bawa selalu berhasil mengingatkannya pada luka yang paling dalam. Anara sadar, bukan hanya dia yang sakit akan sebuah kehilangan.
Tapi, sulit juga bagi Anara untuk berdamai dengan kenyataan bahwa dia harus kehilangan suaminya. Terutama, putrinya yang selamat namun harus mengalami cacat seumur hidup. Anara tidak menyalahkan Nala, dia hanya membenci sikap keras kepala Nala jika sudah menyangkut lukisan. Anara paham betul, putrinya ingin menjadi seniman seperti ayahnya. Namun, andai saja hari itu Nala tidak bersikeras untuk mengejar waktu demi sebuah pameran di kota, mungkin kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi.
“Nala tahu, bunda belum siap untuk memaafkan. Tapi melukis bukan cara Nala melupakan masa lalu. Melukis adalah cara Nala bisa bertahan... walau rasanya nyaris hancur.”
Anara hanya diam, lalu masuk kembali ke dalam kamar tanpa sepatah kata. Namun setidaknya, kali ini Anara tidak menginjak hasil lukisannya lagi. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Hari berganti minggu. Di ruang lukis berbau cat yang hampir penuh keheningan, kini sering terdengar tawa kecil. Aruna datang hampir setiap pagi, membawa warna-warna baru dan cerita-cerita kecil untuk menemani Nala melukis. Mereka tak melukis kesedihan lagi. Tapi kehidupan, harapan, dan impian yang perlahan tumbuh kembali.
Kali ini, Aruna membawakan formulir. “Pameran seni diadakan lagi minggu ini,” katanya pelan. “Kalau kamu mau, kita bisa daftar bareng.”
Nala menatap lama formulir itu. Sedikit terasa sesak saat mendengar kata pameran. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Luka itu memang tidak hilang, tapi perlahan sembuh karena ada tangan yang terus menggenggamnya saat ia nyaris jatuh. Ia mengangguk pelan tanda menyetujui.
Dan di hari pameran itu, kanvas Nala dipajang di tengah ruangan. Seorang lelaki dalam lukisan itu menggenggam tangan gadis bersayap patah. Dari punggung yang luka, tunas kecil tumbuh seolah memberi harapan bahwa dari kehancuran, kehidupan bisa bermula. Di bawah lukisan itu tertulis: “Luka yang Ingin Pulang.”
Banyak pengunjung memuji lukisan itu, tapi Nala hanya memperhatikan satu sosok. Anara, berdiri tidak jauh di belakang kerumunan. Ia tidak melangkah maju, tidak juga bicara. Tapi saat tatapan mereka bertemu, Anara tersenyum kecil. Bukan senyum bangga, juga bukan senyum penuh kasih. Tapi senyum yang perlahan melepas beban. Senyum yang akhirnya mengakui bahwa Nala tetaplah putrinya. Putri yang seharusnya tidak ia salahkan atas kematian suaminya.
Air mata Nala jatuh perlahan membasahi pipinya. Setelah sekian lama, akhirnya Anara menampakkan senyumnya lagi. Meski bukan senyum yang sempurna, tapi cukup untuk membuat hati Nala terasa hangat. Hari ini, bukan hanya impiannya sebagai pelukis yang kembali hidup, tapi juga keyakinan bahwa dirinya tetap berharga.
0 Komentar