6/recent/ticker-posts

Menyambut Dewasa


Menyambut Dewasa

Karya : Maulinda Nurul Hasanah


Gemercik air hujan yang deras membasahi desa saat ini. Sebuah tempat di bagian pelosok tepatnya di Desa Blongko daerah Nganjuk Jawa Timur. Begitu asri desa dengan pemandangan yang hijau rimbun, airnya segar menggugah dahaga, udara sejuk  tanpa polusi, bebatuan besar pinggiran kali masih terpampang nyata adanya. Namun, jangan kaget ketika malam dan pagi embun pekat akan menutup pandangan mata. Di sini sinyal begitu sulit untuk digapai, apalagi saat mati lampu kalian tidak perlu berharap untuk bisa menyalakan gawai. Saat seperti itu, kalian hanya bisa berdiam tidur di kamar atau paling nikmatnya memakan semangkuk mie  yang di seduh dengan air hangat bersama keluarga sambil mengobrol ringan ditemani pancaran sinar dari uplik atau lilin, begitu nikmat bukan. Itulah kehidupan yang dirasakan oleh penduduk di desa tersebut.

Bulan ini tepatnya adalah bulan Februari, bulan yang memiliki keunikan dari pada sebelas bulan lainnya. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya yang memiliki 30 sampai 31 hari. Bulan Februari pada umumnya hanya memiliki 28 hari dalam satu bulan sedangkan pada tahun kabisat bulan ini memiliki 29 hari. Setiap empat tahun sekali tahun Kabisat akan datang hal itu yang menyebabkan Februari tahun ini berjumlah 29 hari lamanya. Bayangkan saja, seorang anak yang lahir di tanggal 29 Februari maka kesempatan merayakan ulang tahunnya hanya empat tahun sekali. Sebuah keunikan yang diciptakan Tuhan di semesta ini. 

Saat ini bertepatan dengan bulan Februari, selain memiliki keunikan, biasanya pada bulan tersebut musim penghujan tiba. Benar saja, dari pagi hingga sore ini tadi awan begitu gelap, angin bertiup kencang dan hujan tak kunjung reda. Meskipun saat ini hanya gerimis dan tidak terlalu lebat membuat orang-orang malas untuk beraktivitas. Untung saja hari ini hari minggu, jadi Aiswha tidak perlu untuk pergi ke sekolah. Walaupun sebenarnya ada tugas kelompok yang belum dikerjakannya. Aiswha lebih memilih menikmati kasurnya yang empuk dengan selimut bulunya bewarna biru muda dengan gambar Cinderella, yang saat ini menghangatkan suhu badannya sembari menonton film horor. Begitu sunyi keadaan di desa itu akibat guyuran hujan seperti desa yang mati tak ada kehidupan.

Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB, namun gerimis tak kunjung reda. Di belakang ibu tengah sibuk memasak sayur, lantaran sayur yang tadi pagi sudah habis. Tadi, sebelum ibu memasak Aiswha meminta untuk dimasakaan menu kesukaanya. Bayangannya dia sangat ingin menyantap nasi tiwul dengan guyuran sayur lodeh pedas, ditambah sambal pete dan ikan pindang. Sebuah makanan yang sering dimasak oleh warga desanya. Bagi masyarakat desa Blongko perpaduan tersebut sangatlah nikmat, apalagi disantap di pinggir sawah dengan sepoi angin yang sejuk, serasa dunia ini adalah surga bagi mereka. Rata-rata penduduk daerah sana sangat menyukai masakan pedas, terutama sambal pete. Untuk pohon pete sendiri dapat ditemui di ladang para penduduk, jadi tak heran kalau masyarakat di desa Blongko sering mengolah pete sebagai lauk makan mereka.

Ternyata ibu benar-benar memasak menu sesuai dengan keinginan Aiswha. Bau pete yang mungkin sebenarnya beberapa orang tidak menyukainya, tapi bagi keluarga kecil itu pete begitu sedap dan nikmat. Bau sambal pete ibu masuk menyelinap hingga membangunkan Asiwha yang ternyata tengah tertidurkarena menonton film horor di gawainya. Segera Asiwha bangun serta mematikan gawaibergegas untuk menengok masakan ibunya. Tak lupa dia membawa handuk kesayangannya yang juga bewarna biru. Sepertinya memang rata-rata barang yang dimiliki Aiswha bewarna biru muda karena memang itu warna kesukaannya. 

 “Ibu, beneran masak sambal pete sama sayur lodeh pedas bu?”tanya Aiswha dengan semangat sambil mengusap wajah kumalnya saat bangun tidur. “Iya, habis ibu juga bingung mau masak apa, toh sudah lama kan ibu tidak masak menu kesukaanmu.” Jawab Ibu yang kini tengah menggoreng ikan pindang untuk lauk nanti. “Bukan makanan kesukaanku sih, tepatnya makanan favorit keluarga haha.. kak Ahmad juga tuh kapan pulangnya apa gak kangen sambal pete bikinan Ibu.” Aiswha merasa sebal karena kakak kesayangannya itu selalu sibuk dan jarang pulang ke rumah. “ Ya sana coba tanya dia sendiri” ucap ibu.

Aiswha segera mandi karena adzan salat ashar sudah berkumandang. Sebenarnya air terlihat sangat dingin sekali, tapi bagaimanapun dia harus mandi atau nanti dia bakal dapat omelan dari ibunya itu. Diambillah satu gayung penuh dan disiramkan kebadannya itu byurrr....byurrr...byurrrr air itu begitu dingin menusuk tulangnya layaknya  air es batu. Segera dia menggosok gigi dan menyabuni badannya dengan sabun untuk mempercepat proses mandinya itu. Belum sampai sepuluh menit Aiswha sudah keluar dari kamar mandi membebaskan diri dari kedinginan kamar mandi itu. “Cepat sekali mandimu nduk, prawan mandine cepet banget” ledek ibu yang sampai saat itu juga belum selesai memasak. “Wah ibu dingin sekali airnya sumpah, aku sudah tidak tahan yang penting aku sudah mandi.” Jawabnya sembari menggantung handuk yang basah itu.

“Assalamualaikum, Kakak Ahmad pulang” teriak seorang pria dari luar rumah. Begitu terkejutnya Aiswha dan ibu dengan kepulangan kak Ahmad yang mendadak tanpa mengabari terlebih dahulu. Segera Ibu mematikan kompor dan Aiswha juga langsung bergegas keluar menyambut kedatangankakaknya itu. “Waalaikumsalam, Sudah di bilangin kalau pulang ngasih kabar dulu Le.” Ucap ibu. “Biar kejutan lo bu bagaimana toh” kak Ahmad hanya tersenyum sembari bersalaman dengan tangan Ibu yang tangannya tengah bau pete itu. “ Pas banget pulangmu kak Ibu masak pete sama lodeh, untung tadi aku minta ibu masak itu.” Ucap Aiswha sambil bersalaman dengan musuh bebuyutannya saat makan nanti. “Wuihh si bocil crewet” begitulah selalu kak Ahmad meledek Aiswha membuat adiknya kesal. Tiada satu hari tanpa bertengkar, namun sebenarnya kakaknya itu sangat menyayanginya.” Bocil bagaimana aku sudah kelas dua belas SMA dan mau lulus ya, jangan main main kau kak.” Aiswha dengan nada sombongnya memamerkan diri. “Si paling dewasa ga tuhh, sudah ayok masuk ga sabar buat makan.”

Mereka bergegas masuk kedalam, sedangkan Bapak ternyata juga baru pulang dari ladang memanen cengkih yang ditanam. Keluarga Aiswha memang keluarga sederhana, di keluarga tersebut hanya ada empat orang yaitu Bapak sebagai petani, Ibu, Aiswha dan juga kak Ahmad yang saat ini tengah bekerja di luar kota. Meskipun keluarga ini adalah keluarga sederhana tetapi syukurnya segala kebutuhan selalu tercukupi. Sempat beberapa kali kak Ahmad disuruh untuk berkuliah  namun tidak jadi entah memang minat kak Ahmad  yang rendah dalam melanjutkan kuliah atau hal lain Aiswha tidak terlalu mengetahui. 

Setelah Bapak, Ibu, kak Ahmad mandi akhirnya saat yang ditunggu Aiswha tiba yaitu makan menu kesukaan mereka. Segera mereka berkumpul di meja makan untuk menyantap nasi mengisi tenaga yang terkuras.“Wahh, enak sekali menunya bu.” Ucap Bapak.”Itu tadi Ais yang minta pak, ibu juga bingung mau masak apa lah ternyata Ahmad juga pulang.” Jawab ibu. “Pintar juga seleramu, bertepatan aku pulang lagi” sahut kak Ahmad yang menyengirkan senyum ledek ke adiknya.“Wah memang dari dulu adekmu ini cerdas bang hehe.” Aiswha tersenyum, dan mereka meneruskan perbincangan ringan sembari menunggu adzan maghrib berkumandang.

Beberapa waktu berlalu hingga tiga hari kemudian sebelum kak Ahmad kembali ke kota, dia sempat berbincang dengan Aiswha sang adik yang kini sudah mulai dewasa. Sebentar lagi Aiswha juga akan merayakan ulang tahunnya yang ke 18. Sebelum Aiswha dipanggil, dia mengira akan ditawari kakaknya kado yang diinginkannya. Namun ternyata hal itu salah besar.

“Setelah lulus SMA apa yang akan kau lakukan Ais?” tanya kak Ahmad dengan wajah seriusnya.

“Aku ingin bekerja kak membantu ekonomi keluarga.”

“Lantas apa gunanya kakak juga bekerja kamu perempuan, lebih baik kamu kuliah saja dan kakak akan membantu untuk biaya kuliah. Syukur kamu bisa dapat beasiswa, pendidikan itu penting bagi masa depan.”

“Jika pendidikan penting, kenapa kak Ahmad enggan kuliah seperti perintah yang ibu minta?” tanya Aiswha. “Menjadi dewasa itu sangat sulit Ais, hidup di luar sana sangat keras dan menakutkan. Persaingan, perebutan dan perlombaan sudah menjadi hal wajar kau harus mempersiapkan diri dengan matang dan sebagai wanita kau perlu ilmu yang tinggi. Sebenarnya setelah kupikir aku membutuhkan kuliah namun jalurnya sudah berbeda. Aku tidak mungkin berbalik di jalan yang sudah cukup jauh kutempuh ini. Maka dari itu aku memintamu untuk berkuliah saja.”

Aiswha begitu tertarik dengan pembahasan yang telah diucapkan kakaknya tadi. Setiap kata demi kata dicerna lalu dianalisis di otak mungilnya yang kaya dengan pertanyaan menggebu. Entah mengapa perkataan kakaknya terkait kata dewasa sangatlah sensitif di otaknya. Menurutnya bukankah menjadi dewasa begitu menyenangkan, kita bisa merasakan dunia luar, menikmati gaji atas jerih payah kita dengan membeli segala sesuatu yang kita inginkan. Setiap memori dimatanya beranggapan bahwa ketika melihat orang dewasa selalu terlihat keren dengan segala bentuk kemewahan dan pencapaian yang dimilikinya. Tidak lain juga yang dilihat dari kakaknya sendiri, kak Ahmad selalu membelikan baju hari raya sekeluarga, memberi uang ke Ibu, dan tak jarang juga sering membelikan barang untuk Aiswha. Melihat segala hal tersebut membuat Aiswha juga ingin segera dewasa dan lulus dari sekolahnya, tak heran kuliah bukan tujuan utamanya meski memang pernah terbesit untuk berkuliah namun itu tidak sepenuhnya hal itu menjadi  tujuan hidup Aiswha.

“Bukankah menjadi dewasa itu menyenangkan kak? dari kecil aku sudah lama menunggu menjadi dewasa untuk bahagia dengan segala pencapaian yang kuusahakan dengan jerih payahku sendiri tanpa bergantung kepada Bapak dan Ibu. Lalu aku akan membagikan pencapaian dan kebahagiaabku kepada orang yang aku sayang.” Aiswha menjawab dengan jawaban mantap hasil dari tangkapan analisis otaknya itu. Kakaknya hanya tersenyum sambil membaca buku komik yang dibawanya. Memang kakak beradik ini mempunyai otak yang cerdas. Dulu mereka sering beradu argumentasi untuk memecahkan permasalahan yang ada.

“Sebentar akan kututup komikku ini, sepertinya akan ada pembahasan yang begitu seru dan menarik yang akan kita perbincangkan.” Segera Aiswha memasang kedua telinganya dengan sungguh-sungguh sembari mencerna setiap bait kata yang akan dilontarkan kakaknya itu. Kak Ahmad kini juga telah menutup komiknya menyiapkan untaran kata yang kini tengah disusun agar tidak menjadi sebuah kesalahpahaman bagi adiknya nanti. Baginya hal tersebut juga penting diketahui oleh Aiswha sebagai bekal dia menyambut masa dewasa nantinya. 

“Apakah bagimu menjadi dewasa itu menyenangkan?” Tanya kak Ahmad untuk mengawali perbincangan mereka saat ini.

“Tentu iya, dengan argumentasi yang sudah aku sampaikan tadi kak. Apakah lain halnya dengan pendapat kak Ahmad?”

“Begini, sebenarnya sulit untuk menjelaskan hal tersebut tapi kakak akan menjelaskannya kepadamu. Menjadi dewasa bukanlah hal yang mudah seperti yang engkau bayangkan. Dewasa yang kita bayangkan waktu kecil indah itu hanyalah bayangan bukan kenyataan. Kamu akan bertemu banyak masalah, hal baru, target pencapaian, ekspetasi orang lain, keberhasilan atau malah beberapa kegegalan yang terkadang membuatmu ingin menyerah. Lantas dengan sedikit penjelasan tadi apakah kamu masih menganggap dewasa itu indah?” Pertanyaan itu seketika tertuju pada analisis yang sebelumnya disampaikan oleh Aiswha. Benar, pertanyaan menggelitik dari kak Ahmad seketika menindas argumentasi sebelumnya. Aiswha menarik nafas, dan akan mencoba kokoh dengan argumentasi pertama walaupun sebenarnya dia juga belum mengetahui secara betul makna dewasa, toh dia juga belum pernah merasakannya.

“Namun, bukankah itu tergantung individunya kak, maksudku begini tidak semua akan berpendapat seperti itu karena dengan menjadi dewasa seseorang bebas  untuk mengeksplorasi minat, hobi, potensi diri sesuai dengan keinginannya. Dengan begitu setelah mereka melakukan tanggung jawab nantinya akan memberikan rasa kepuasan dan akan mengarahkan pada kebahagiaan yang berkelanjutan yang mereka ciptakan sendiri. Jadi dewasa adalah pilihan. Bukan begitu kak? Serasa jawaban Ais sangat tangguh dan benar baginya. 

“Hampir benar pandanganmu Ais, namun kau hanya mengambil jawaban dari sebelah sudut pandang saja, tidak semua orang beranggapan begitu dan memang kenyataannya tidak seperti itu. Sekarang ada sedikit pertanyaan sederhana dari kakak untuk kamu. Kakak akan memberimu uang kalau kamu melakukan salah satu pekerjaan yang kakak sebutkan nanti yaitu kamu pilih memanen cengkih atau kamu memilih menghantarkan makanan untuk Bapak yang sedang panen cengkih, jawab dengan realistis ya.”

“Tentu aku memilih mengirim makanan untuk Bapak saja dong kak.” Begitulah jawaban Aiswha karena memang dia sangat malas untuk disuruh berladang apalagi di ladang cengkih miliknya yang jaraknya cukup jauh dari rumah, dan kak Ahmad sudah sangat hafal dengan sikap adiknya tersebut.

“Nah, sama halnya dengan dewasa dong, ketika kamu masih sekolah kamu akan mendapatkan uang secara percuma dari Bapak, Ibu ataupun Kakak. Lalu ketika dewasa bagaimana?” kak Ahmad menunjukkan pertanyaan tersebut kepada Aiswha. “Tentu aku harus bekerja terlebih dahulu dan tidak mengandalkan orang lain” jawab Aiswha. Dari jawabannya tersebut memang sudah terlihat Aiswha yang kalah dengan argumentasinya yang menganggap dewasa itu begitu indah. Namun, perbincangan ini belum dirasa puas baginya dia masih ingin melanjutkannya sebelum nanti sore kak Ahmad pergi kembali ke kota untuk bekerja.

“Aku masih ingin melanjutkan perbincangan ini kak, apakah kak Ahmad mau untuk kembali ke kota agak sore?” Aiswha menanyakan perihal itu agar tidak menggaggu waktu kakaknya itu. “Boleh saja, selagi berdampak positif bagi pola pikir adikku yang bocil dan crewet ini.” Jawaban kak Ahmad serasa gemas dengan wajah mungilku. “Jangan bikin lelucon dahulu kita masih dalam forum diskusi ini.” Ucap Aiswha yang menyiapkan beberapa pertanyaan kepada kakaknya itu. Mendengar adiknya yang semakin kritis membuat Ahmad semakin yakin agar adiknya melanjutkan studi pendidikan yang lebih tinggi.

“Kalau memang menjadi dewasa itu tidak mudah, lalu kenapa mereka dapat terlihat bahagia tanpa terlihat terluka? Dan apakah dewasa itu diukur berdasarkan umur yang berupa angka kak?” Pertanyaan Aiswha kembali tertimbun dan diharapkannya jawaban kak Ahmad dapat memberikan jalan keluar atas pertanyaannya tersebut. “Okey, sebelum kakak menjawab pertanyaanmu kakak mau tanya sekarang kamu umur berapa?” tanya Kak Ahmad kepada Aiswha.

“Astaga umur adik kandungnya sendiri lupa, aku mau ulang tahun lohh. Kau ingat tadi, ku kira kakak memanggilku untuk menawari kado cantik yang aku inginkan saat ulang tahunku tiba, sudah kuharapkan kadomu untukku. Tapi, ternyata dugaanku salah besar dan malah kita berbincang mengenai makna dewasa.” Aiswha berkata begitu panjang tanpa disadari perkataan panjang tersebut tidak menjawab pertanyaan kak Ahmad yang begitu singkat tadi. Wajar saja lidah perempuan lebih ampuh daripada laki-laki dan memang praktiknya seperti itu.

“Sangat berharap sekali kau ini dapat kado dari kakakmu yang dingin sikapnya, jawab dulu pertanyaanku sekarang kamu umur berapa?” Kak Ahmad kembali bertanya. “Umurku sekarang 17 tahun dan di bulan Maret nanti akan bertambah usia menjadi 18 tahun kak.” Aiswha menjawab dengan kesal, bagaimana tidak kakaknya sendiri ternyata lupa dengan umurnya.

“Wajar saja umur segitu adalah masa labil, dimana itu adalah masa transisi dari remaja ke masa dewasa yang awal. Makanya setiap anak seumuran kamu begitu sensitif bagi orang tuanya, karena kamu akan menginjak masa transisi itu. Sebelum menjawab pertanyaanmu tadi kakak mau tanya apakah umur 20 tahun itu sudah dewasa menurutmu?” kak Ahmad kembali bertanya balik kepada Aiswha. Aiswha mulai berpikir dan menjawab dengan nada sedikit ragu “Mungkin, bukan termasuk dewasa sih kak, tetapi layaknya sudah menjadi dewasa dan berusaha dewasa, bukankah begitu?”

“Kata berusaha dan layaknya yang kamu ucap menjadi poin jawaban kakak. Dewasa itu adalah proses dimana proses manusia untuk mencari jati diri, mencintai potensi diri kemudian mengembangkannya dan bertanggung jawab atas pilihan yang dipilih lalu yang terakhir memaafkan kesalahan dan kekurangan diri sendiri atas segala hal yang kamu akan mulai dan segala keputusan yang telah kamu pilih. Ada beberapa orang yang belum tentu berhasil melewati proses tujuan awalnya dan semua itu tidak instan karena memang dewasa adalah pilihan dan dewasa adalah proses.” Sembari menoleh kepada Aiswha sang adiknya, jawaban kak Ahmad begitu menakjubkan baginya. “Jika memang dewasa itu pilihan dan dewasa tidak semenyenangkan yang dibayangkan apakah boleh aku memilih untuk tidak dewasa?” tiba-tiba pertanyaan aneh itu muncul seketika dari mulut Aiswha.

“Boleh saja tapi nanti kamu termasuk orang yang gagal nantinya.” Jawaban singkat dan mengena dari kak Ahmad, kemudian dia melanjutkan omongannya.” Menjadi dewasa tidak semengerikan yang dibayangkan tapi juga tidak seindah yang kamu bayangkan. Hal tersebut tergantung kita menyikapinya, perkara masa depan seseorang itu gak pernah tahu akan gagal atau berhasil. Jadi, sekarang tugasmu fokuslah pada masa yang sedang dilalui dengan belajar, perbaiki diri, dan berusaha semaksimal mungkin untuk meraih target dan terakhir serahkan pada Tuhan. Rasa takut tidak akan mewujudkan ekspetasi diri dan ekspetasi orang lain kepada kita, maka berdamai dengan diri sendiri dan munculkan kebahagiaan versi dirimu sendiri itu sangat penting.” Sekali lagi rentetan jawaban kak Ahmad terpintas di otak Aiswha.

“Lalu mengapa kakak menyuruhku untuk melanjutkan studi, bukankah lebih baik aku bekerja menghasilkan pundi-pundi uang mewujudkan hal hal yang kuinginkan?” kembali pertanyaan itu ditanyakan Aiswha kepada kakaknya.

“Bahagia bukan hanya tentang uang saja, uang dapat habis seketika sedangkan ilmu akan tetap abadi selamanya. Dalam mencari uang di zaman sekarang juga tentu perlu namanya ilmu. Persaingan semakin ketat, memang kuliah tidak menjamin pekerjaan seseorang tapi dengan kuliah, akan membuka wawasan dan memperbesar peluang seseorang untuk hidup lebih baik di masa yang akan datang. Bukankah begitu?” kak Ahmad kembali membuat pertanyaan yang kini sudah dapat diterima Aiswha. 

“Betul juga ya kak, kali ini argumentasimu dapat kuterima” Aiswha mengakui bahwa memang kali ini dirinya kalah.“Lalu setelah ini apakah kau berniat untuk melanjutkan pendidikan, sebagai dokter mungkin seperti cita-cita yang pernah kau ucapkan dulu saat kecil?” sedikit pertanyaan kak Ahmad yang membuat Aiswha kaget karena dari kecil dia senang bermain dokter-dokteran dan kak Ahmad yang setia menjadi pasiennya.

“Masih ingat saja kau kak, memang tujuan awalku ingin menjadi dokter dan dari sekarang aku akan mempersiapkan diri untuk menyusun semuanya, selagi kakak, Bapak dan Ibu mendukung.”Aiswha menjawabnya dengan senyuman.“Anak pintar, jangan terlalu takut dengan masa depan lakukan saja sesuai alur dan pertimbangkan dengan matang dan tentu hati-hati atas segala keputusan yang kamu pilih. Semua ketidakpastian bisa terwujud asal dibarengi usaha dan doa, kamu harus lebih hebat dari pada kakak.” 

Kalimat penutup yang diucapkan kak Ahmad membuat Aiswha sedikit terharu. Memang selama ini kak Ahmad terlihat jahil kepadanya tetapi sebenarnya dia sangat menyayangi Aiswha dan selalu berusaha agar adiknya dapat hidup bahagia. Sedangkan terkait perbincangan tersebut membuat Aiswha paham bahwa di umurnya yang akan menginjak 18 tahun itu adalah masa transisi. Butuh persiapan yang kuat atas segala hal yang akan dihadapinya di masa depan. Namun, saat ini Aiswha juga berusaha mengolah rasa takutnya yang sebenarnya sempat terbesit di otaknya.

Setelah perbincangan tersebut, Aiswha akan menyambut masa dewasa dengan ceria mencintai diri sendiri, berdamai dengan segala bentu kekurangan dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang nantinya akan dipilihnya. Anggapannya mengenai dewasa itu indah ternyata salah besar, karena sebuah tanggung jawab besar akan hadir dengan segala problematika yang ada. Namun, hal yang perlu di garis bawahi hal tersebut juga tergantung cara seseorang memandang, maka dari itu lakukan segala proses dengan bahagia dan wujudkan jalan masa depan itu dengan usaha demi mencapai target atau hasil yang diharapkan.


Posting Komentar

0 Komentar