Pencapaian yang sejati dari perjalanan hidup manusia
sebenarnya bukan soal urusan materi. Pencapaian yang sejati tidak dinilai
dengan ukuran yang serba materiil. Manusia harus menyelami beragam
bentuk-bentuk materi kebendaan apa pun itu supaya ia mengetahui esensi makna
dan subtansi nilai dari materi kebendaan tersebut. Sebab, jika tidak demikian,
maka manusia tidak akan pernah mendapat hikmah maupun khazanah ilmunya yang
paling inti. Seperti halnya uang, nilai uang yang sesungguhnya bukan terletak
pada berapa nominalnya, melainkan pada kemanfaatan dan digunakan untuk apa uang
tersebut nantinya. Dan contoh lainnya lagi.
Jadi, jangan berhenti pada hal-hal yang serba meteriil,
jangan tidak memasuki suatu ruang di mana hakikat dari sesuatu bersemayam di
dalamnya, dan jangan tidak memahami entitas sesuatu yang sebenarnya tidak
terlihat oleh mata, karena justru di situlah hakikat nilai bertempat tinggal.
Orang harus lebih mampu melihat sesuatu ‘yang tidak tampak’ ketimbang sesuatu
‘yang tampak’. Di dalam ‘yang tidak tampak’ itulah terkandung cakrawala nilai
dan pengetahuan-pengetahuan yang tak terbatas dan sangat inti. Maka, dalam soal
lihat-melihat, selain melihat dengan mata jasad, kita juga harus sedia dan bisa
melihat sesuatu dengan “mata batin”—dalam arti, mau melihat dan memahami lebih
jauh dan lebih dalam atas sesuatu yang hanya terlihat oleh mata kepala kita.
Realisasinya, ketika membaca buku atau sesuatu apa pun
saja, maka selain membacanya dengan mata, kita juga harus membacanya dengan
pikiran dan dengan hati—bahkan juga dengan rasa yang hadir membersamainya.
Sebab, dengan pikiran kita akan mendapatkan maknanya dan dengan hati kita akan
mendapatkan keutamaan nilainya sekaligus dengan rasa akan kita dapatkan muatan
ketenangan-ketenangan jiwa. Sehingga, yang bermakna, yang berkeutamaan dan yang
berketenangan hanya bisa kita dapatkan kalau kita mau menyediakan diri untuk
menyelami dan mendalami hal-hal yang sebenarnya tidak tampak mata. Sebab,
bagaimana mungkin kita tidak berlaku demikian, sedang yang justru sangat
berlaku dalam kehidupan ini adalah sesuatu yang sebenarnya tak terlihat mata,
sedang hidup kita ini lebih dikepung dan bahkan dikendalikan oleh hal-hal yang
tidak tampak mata, sedang yang kita ketahui tak lebih banyak dari yang tidak
kita ketahui. Hidup adalah perwujudan misteri yang amat sulit dipahami. Segala
macam ke”gaib”an-ke”gaib”an dalam hidup sama sekali jauh lebih kompleks
ketimbang kompleksitas daya jangkau pengetahuan kita. Apa yang terjadi hari
esok sama sekali kabur pengetahuan kita atasnya, sehingga kita mustahil bisa
benar-benar tahu apa yang akan terjadi esok hari. Kita hanya mampu menaruh
prediksi yang kemungkinan benarnya tak lebih dari kekeliruan asumsi pikiran
kita atas ke“bias”an pandangan mata kita dalam melihat fenomena itu sendiri.
***
Kita ini telah masuk ke dalam babak baru, di mana dunia
sudah sedemikian maju dan canggihnya, tetapi juga amat semakin menipunya. Dan,
dalam banyak hal kita sudah tertipu—bahkan dalam segala hal kita telah tertipu.
Cara berpikir kita ini sudah ditipu, sehingga salah terus dan sulit terjadi
ketepatan dalam orientasi pikiran kita. Alhasil, tidak ada yang benar-benar
tertata rapi dan baik-baik saja mengenai segala mekanisme—baik pola maupun
sistem—yang saat ini sedang berlaku dan sedang berjalan. Semuanya nampak kacau,
dan demikian sangat silang sengkarutnya. Kita susah payah buat aturan hukum
sedemikan rupa, tetapi justru kita sendirilah yang melanggar hukum tersebut.
Kita sibuk membuat pagar sebagai batas aman supaya orang luar tidak sampai
merusak tanaman kita, tetapi ternyata justru kita sendirilah perusaknya. Kita
begitu sangat asyik membuat, merajut dan membentangkan tali, tetapi di kemudian
hari kita justru keserimpung dan terjerat oleh tali yang kita buat sendiri.
Tidak ada yang benar-benar beres—bahkan seluruhnya tidak ada yang beres sama sekali. Dan, ini nampaknya memang disebabkan oleh kesalahan orientasi berpikir kita sendiri yang selalu saja tidak tepat. Naasnya lagi, kesalahan orientasi berpikir yang dikarenakan oleh penipuan atas cara berpikir kita itu tidak pernah kita sadari sebagai penipuan. Walhasil, kita tidak pernah merasa tertipu dan justru sangat menikmati penipuan tersebut. Padahal, penipuan paling canggih dan yang paling besar tingkat pengaruhnya adalah ketika pihak yang ditipu tak pernah merasa tertipu. Dan itulah yang sedang kita alami sekarang.
Revolusi Mental
dan Revolusi Akhlak
Dua gagasan besar dengan idiom “Revolusi Mental” dan
“Revolusi Akhlak” yang lahir dari dua stakeholder
besar di tanah air—meskipun kelahirannya dengan rentang waktu yang berbeda,
tidak bersamaan. Sebenarnya, adalah sebuah gagasan amat baik dan sungguh memang
sangat relevan untuk kita-kita ini.
Maka, kedua ide besar tersebut harusnya juga tidak usah
dibentur-benturkan sehingga malah membuat keadaan yang sudah kacau, malah
semakin kacau. Kita yang awam menjadi sangat plonga-plongo dibuatnya. Dan, keberadaan media terkadang justru
terlalu sangat sering membesar-besarkan problem yang ada. Oleh karenanya, dari
kita sendiri harus punya kuda-kuda kuat agar jangan sampai tertipu lagi untuk
kesekian kalinya. Fitnah di tengah gelombang kecanggihan peradaban manusia
seperti sekarang ini, juga memang sudah semakin sedemikian rupa canggihnya.
Sekarang ini, orang bisa sangat bebas dan terbuka sama sekali untuk ngomong ketidakbenaran—tanpa
filter dan tanpa pertimbangan kebijaksanaan dan kemaslahatan hidup manusia.
Memang, kita ini sedang berada di “zaman edan” era baru. Kita telah memasuki zaman jahiliyah model
baru, justru pada era di mana kehidupan manusia sudah sedemikian canggih
teknologinya dan tingkat pengetahuan yang sudah sedemikan mumpuninya. Entah
mengapa ini bisa terjadi. Justru kini manusia sudah kehilangan mutu
ke-“adab”-annya sebagai manusia, sehingga kita kehilangan kualitas kemanusiaan
kita sebagai manusia pula.
Maka, apabila hal demikian dibiarkan dan terus-menerus
diberlangsungkan begitu saja, sudah tentu yang terjadi tidak lain adalah sebuah
kehancuran besar. Bahkan, pola perilaku kita sekarang ini memang seperti sedang
hendak menyongsong kehancuran agar cepat menimpa diri kita. Kiranya hanya
tinggal menunggu waktu saja kehancuran akan menghampiri kita.
Oleh karena itu, kalau kita pengen selamat, memang harus
ada upaya soft-reset bahkan juga hard-reset atas mental dan akhlak kita
sebagai manusia—lebih-lebih sebagai hamba Allah. Maka, apa yang telah
dicetuskan oleh dua stakeholder di
tanah air kita tersebut, kita ambil saja sebagai pendulum hikmah yang memang
oleh semesta kehidupan (baca: Tuhan) diinformasikan lewat perantara semacam
itu. Dengan begitu, yang akhirnya utama untuk kita lakukan adalah benar-benar
intropeksi diri secara dalam dan mendasar atas kondisi mental dan akhlak kita
selama dan sejauh ini—tidak usah sebagai warga negara atau anak bangsa, tetapi
sebagai manusia saja.
Dan, kita juga tidak usah terlalu ikut-ikut masuk ke
dalam arus yang saat ini sedang mengarus sedemikian desarnya, apalagi sampai
ikut hanyut dan termakan oleh gorengan media yang sudah begitu busuknya—bahkan
kalau memang tidak perlu, juga tidak usah terlalu ikut-ikutan masuk ke dalam
huru-hara tidak jelas yang sedang terjadi di tengah peta pepolitikan nasional
bangsa kita ini. Sebisa mungkin kita harus mengambil jarak sedemikian rupa,
supaya penglihatan dan output
penyikapan dan tanggapan yang keluar dari diri kita bisa kembali jernih dan
seimbang. Sedangkan, untuk dua gagasan besar tersebut, kita ambil muatan
iktikad baiknya saja dari apa yang telah dicetuskan sebagai gerakan untuk
perubahan besar bernama “Revolusi Mental” dan “Revolusi Akhlak”, bahwa, memang
saat ini dua masalah—yakni mental dan akhlak—itulah yang mengalami defisit
besar-besaran dan mengalami kebobrokan amat parah.
Artinya, dalam banyak wilayah dan suasana, kita harus sama sekali memperbaiki dan sedemikian rupa menumbuhkan kembali kondisi maupun sikap mental yang tidak hanya kuat seperti baja, tetapi juga harus mulia seperti berlian dan lembut seperti kain sutra. Sehingga, dari kondisi maupun sikap mental semacam itulah, akan lahir perilaku akhlak yang baik dan mulia sebagaimana mutiara. Karena, mentalitas yang baik sangat mempengaruhi kualitas akhlak. Dan, akhlak yang baik hanya akan berarti dan bermanfaat secara luas, jika dilandasi dengan mentalitas yang kuat dan sempurna.
Dan, dengan itu pula, saya menjamin—yakni,
dengan ketepatan dan kesempurnaan mental sekaligus sempurnanya akhlak—kiranya
mutu kemanusiaan kita sebagai manusia akan juga semakin berkualitas tinggi.
Mau bagaimanapun, jangan sampai manusia berlaku
begitu tega kepada manusia, apalagi dengan hinanya menghinakan dirinya sendiri
sebagai manusia lantaran tidak berlaku sebagaimana manusia dengan cara memakan
sesama manusia. Sebab, puncak pecapaian sejati dari manusia sesungguhnya
terletak ketika manusia mengetahui kualitas sejati dari nilai-nilai kemanusiaannya itu sendiri. []
0 Komentar